Pernahkah kau menyangka awanawan bergulung menjadi mendung, cuma karena aku berbisik dalam hati, teduh, teduh, aku ingin teduh. Maka awanawanpun patuh, memeluk debu, asap dari seluruh cerobong dunia, dan segala lenguhan yang terbang di padang dan jalanjalan. Mengotori jubah putihnya hingga kelabu kehitaman.
Belum cukup, kali ini aku tak lagi berbisik, melainkan berseru lantang, meski masih dalam hati, hujan, hujan, aku ingin basah. Awan hitam kelabu berderap mendekati cahaya, menyerahkan setiap massa tubuhnya diremas panas, meleleh, jatuh terhempas ke bawah, ke semua retak tanah, lembah dan puncak, dusun dan kotakota.
Kau tak percaya, mana mungkin seorang manusia bisa menyuruhnyuruh awan, membuat hujan. “Tak masuk akal,” Kau terus bicara, setengah berteriak agar suaramu terdengar di antara gemuruh hujan. Bibirmu mengkerut, tapi matamu tak bisa menyembunyikan senyum. Kau pasti juga tak percaya, kalau kubilang kudengar kau tertawa keras dan hangat, dalam hatimu, meski tubuhmu menggigil basah diguyur hujan. Di sebuah trotoar, di mana oarangorang berdiri berderetderet menatap hujan dengan mata penat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar