Aku selalu ingin tahu bagaimana kau memandangku. Aku tahu itu terdengar mementingkan diri sendiri dan membosankan, hanya ada aku dalam benakku. Aku sesungguhnya tak peduli tentangmu, cuma memikirkan diriku sendiri sepanjang waktu. Sepanjang waktu apakah sekusut rambutku, itu yang kutanya kepada cerminku setiap kali aku bersisir, benarbenar narsis! Seandainya cermin punya lengan dan telapak tangan tentu akan ditutupnya wajahnya, jenuh menatapku. Aku tak suka berdandan hanya suka menatap mataku.
Cerminku pasti tak tahu kisah itu, cermin tarsa, aku pernah membacanya, cermin yang baik hati dan pandai, tahu apa yang ingin dilihat mata sesiapa yang menatapnya, dan mau repotrepot menunjukkannya. Seperti cermin salah kodrat, bukan memberi bayang, malah mewujudkan angan, cermin lancang. Kenyataannya yang lancang itu bikin senang. Tak seperti cerminku, cermin biasa, hanya sekeping kaca yang menyajikan bayangbayang, segenang air saja bisa melakukannya, kelebihannya, cerminku akan tetap ada walaupun tak turun hujan.
Aku sungguh tak tahu caranya, agar aku bisa tahu bagaimana kau memandangku. Itu membuatku suntuk. Meski kedengarannya egois, sesungguhnya tak benar begitu adanya. Aku mencintaimu, hanya dan hanya itu sebabnya aku ingin tahu bagaimana kau memandangku. Aku tahu bagaimana aku memandangmu, karena matamu juga bisa jadi cermin, saat kutatap dalam tanpa berkedip. Matamu bisa jadi cermin, sayangnya sama saja seperti banyak cermin, hanya memantulkan bayang, bukan harapan dan anganangan. Setiap kali kupandang cermin dalam matamu, yang kulihat hanya cinta melulu. Pasti begitulah aku memandangmu, penuh cinta, dan matamu yang cermin membiaskan kembali pandanganku.
Aku tak perlu memandang cermin di dinding. atau di matamu, untuk tahu aku mencintaimu, aku tentu mengenal diriku lebih baik dibanding cermin manapaun mengenalku, aku tahu pasti tentang aku mencintaimu selalu. Tapi kau, diamdiam aku sangat ingin tahu bagaimana kau memandangku. Tak masalah juga kalau itu akan membuatku terlihat narsis atau egois, atau bermacam kata sifat buruk lainnya. Aku tetap ingin tahu bagaimana kau memandangku.
“Katakan bagaimana kau memandangku.” Aku berkata sambil menatap matamu. Aku sudah tak mampu membendung rasa ingin tahuku, pun tak kutemukan kemungkinan cara lain yang lebih baik selain bertanya langsung padamu, meski dengan berat hati aku juga sangat jelas mengingat kepandaianmu berdusta. Bahkan kau akan tertawa kalau kusebut tukang bohong, itu memang pantas untukmu selain sebutan tuti, tukang tidur.
“Bagaimana aku memandangmu ?” Kau bingung dan mengulang kalimatku.
“Iya, katakan padaku, bagaimana kau memandangku.”
“Bagaimana aku memandangmu ?” Kau lagilagi mengulang kalimatku, aku mulai kesal.
“Kau mendengarku, jelas kan, aku juga dengar ucapanku sendiri. Tak perlu kauulangi lagi, jawab saja.” Aku mencoba
bicara lugas padamu, hal yang jarang bisa kukerjakan. Bicara denganmu selalu lucu atau sendu, tak pernah tegas dan jelas.
“Bagimana aku memandangmu…hmm.”
“Ahh…!!”
“Aku tak mengerti, sama sekali tak mengerti.”
“Aku bicara bahasa Indonesia, baku, tanpa kias atau pantun, juga tak ada katakata tak lazim, apanya yang tak kaumenegrti. Kenapa kau selalu harus membuatku kesal sebelum menjawab.”
“Nah…kenapa tak tanya pada dirimu sendiri, kenapa kau selalu bicarakan halhal tak penting. Kau bisa tanya, apa aku sudah makan, apa aku sehat, apa aku ingin segelas kopi lagi. Itu yang seharusnya kautanyakan kalau kau inginkan jawaban masuk akal.”
“Jadi begitu kau memandangku, tak jelas, tak masuk akal, sinting, gila.”
“Ya Tuhan…”
Suaramu terdengar putus asa, tapi aku tak boleh jatuh kasihan padamu kali ini, kau selalu meremehkanku, selalu menganggap semua yang kubilang tak penting, apa kau tahu itu sangat menyakitkan.“Jangan bawabawa Tuhan.” Aku menukas cepat.
“Oke, kutaruh dulu Tuhan,” Katamu sambil menaruh sebatang sigaret yang belum sempat kausulut, sedari tadi hanya kauputarputar di sela jari tangan, kau mahir melakukannya, serupa memutar duniaku. “Sekarang aku tak membawabawa
Tuhan, tapi masih tak mengerti apa sebenarnya yang kautanyakan tadi.” Matamu masih memantulkan cintaku, membuatku bingung, bahkan disaat kau sangat menjengkelkan.
“Ini yang terakhir, bagaimana kau memandangku, jawab saja itu.”
“Hmm, kau perempuan…” Kau menjawab ragu.
“Setanpun tahu itu !”
“Kau tak suka aku membawabawa Tuhan, sekarang kau sendiri, membawabawa setan. Kenapa tak kaukatakan saja aku harus menjawab apa biar kau senang.”
“Ohh…jadi begitu ya, jadi begitu kau memandangku, cuma perempuan, tak lebih, dan perempuan yang membawabawa setan pula.” Aku menatapmu gusar, berusaha keras menghapus rasa menyenangkan yang biasa kudapatkan saat menatapmu dengan sungguhsungguh. Kau menarik tubuhmu, setengah bersandar di kursi, menggaruk kepala sebentar, sedikit menyedihkan, tapi aku bersikeras tak akan berbaik hati dan iba padamu, sampai kudapatkan jawaban yang pantas.
“Hmm…Jadi kau ingin aku melihatmu bukan cuma perempuan, apa maumu, super girl, princess, atau miss apapun, katakan saja, aku akan mengingatnya setiap kali aku harus memandangmu.”
“Kau menyebalkan.”
“Kau menyesal ?”
“Apa gunanya, kau tetap menyebalkan.”
“Aku senang.” Matamu mulai tertawa.
“Kau sengaja menyebalkan. Kau sengaja membuatku kesal.”
“Kau tahu, jangankan kau, Tuhan saja tak mampu mengenyahkan segala yang menyebalkan.”
“Kau, kau sangat menyebalkan.”
“Kau menyenangkan.”
“Justru itu, aku sebal, kau membuatku sungguh sebal. Jadi menyenangkan, tak ada yang lebih memuakkan.”
“Ada.”
“Apa ?”
“Dicintai.”
“Hmm…”
“Aku senang kau tak tahu, betapa menderitanya aku kaucintai.”
“Ya. Merasa layak dicintai itu sungguh tak tertahankan. Jangankan manusia, Tuhan saja tak tahan.”
“Jadi sekarang kau mau merampok, meledakkan tempat ibadah, atau membakar sekolah ?”
“Bisa lebih parah ?”
“Meletuskan gunung, meluapkan laut, atau lumpur.”
“Kau suka yang mana ?”
“Yang kerusakannya paling parah.”
“Kalau begitu beri aku senapan untuk meledakkan kepalaku.”
“Kalau samurai, sayatan melintang di tubuhmu pasti hebat.”
“Kau suka yang mana ?”
“Apa aja asal kau senang.”
Aku tak bisa menahan senyum, kau tertawa dengan mata.
“Aku tak suka berbenah, tak bisa bisa berdandan, tak tahu adat.”
“Aku tak butuh segelas kopi panas, sepiring makanan hangat, setumpuk baju rapi.”
“Hahaha… Jadi apa yang kauinginkan.”
“Seorang perempuan yang tak ingin punya credit card, tak butuh microwave, kulkas dan ac di rumah.”
“Rumah ? Rumah yang mana.”
“Rumah yang mana lagi.”
“Rumah jamur, rumah pohon, rumah boneka ?”
“Yang mana kausuka.”
Aku tahu kau pasti akan mengatakannya berulang kali, sebanyak kali kukatakan pula. Selama aku dan kau masih bisa saling berkata, “Mana yang kausuka.” Segalanya akan baikbaik saja, tak peduli seburuk apa kau dan aku saling memandang, sebelum memandang dunia.
“Sudah kujawab dengan baikkah?”
“Aku tanya apa ?”
Kau memandangku sepenuh tatapan langit, aku terjun ke dalam laut matamu. Hitam dan jernih*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar