Jumat, 25 Februari 2011

24 januari 2011


Air mata api

Mata atau kawah sedang kubawa, kenapa begitu panas dan merah, meletup tanpa henti. Aku ingin tenggelam, biar tak lagi mesti berteman lubang api, mekar di kanan-kiri pintu nafasku. Debu berasap berjatuhan membakar bumi. Makam ibuku tertimbun salju merah jambu. Senja menguburkan musim semi di lereng gunung berapi.


Kau berdiri tegak di seberang jarak, tak berhenti berteriak, terjang, terjanglah api di mata, ada bumi lain menunggu, hitam, hening*




Hujan abu

perempuan itu mengorek tanah, serpihan hitam berguguran dari matanya. berjatuhan di atas pasir. serupa debu di atas salju. dia telah lupa pernah ditukarnya matanya dengan setumpuk abu dari catatan yang terbakar, ketika batubara dan kayu api telah habis semuanya, sementara badai masih bertiup liar di balik dadanya*




Kilat malam

Apa yang kaulihat di balik senja, malamkah, sepatusepatu menunggu ketukan di lantai dansa, sebotol vodka. Kita terlalu banyak bermain kata, aku merasa titiktitik di angkasa kehilangan tempatnya, berebut memasuki gelasku.


Untukmu, semoga tak bercela, wajah beku di pigura mahir bercerita, ada banyak jendela bisa dibuka untuk mengintip ke luar, saat senja memenuhi ruang, menenggelamkan kerinduan. Langkahlangkah bergegas mengejar sungai yang berlari membawa banyak senja di pangkuannya. Debar demi debar cepat menyusup ke akar rumput*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar