Teringat masa sekolahku saat bapa ibu guru berkata,”Yang penting digaris bawah.” Aku masih bocah, ingusan pula, dari hidungku selalu menggantung lendir, bening, kuning. Ketika hening, suara nafasku terdengar lebih gemuruh dari stasiun kereta. Temanteman sekelasku sering tertawa melihat corengmoreng di sekitar hidung dan pipi, menandakan seorang anak terbelakang. Selalu menempati barisan paling jauh dari depan papan tulis hitam.
Kuambil pulpen bertinta merah, mistar, lalu tekun membaca. Bab tentang metamorfosa atau sumpah pemuda. Mencari kalimatkalimat penting untuk diberi garis bawah berwarna merah. “Kalau tak penting, buat apa ditulis ?” Kusiapkan pertanyaan ketika ibu bapa guru bertanya,”Ada yang ingin bertanya ?”
Kuacungkan tangan tinggitinggi, menunjuk atap, bersama beberapa tangan teman sekelasku, berharap perhatian dan anggukan bapa ibu guru tertuju ke arahku.
Akhirnya, suatu hari aku bernasib baik, mendapatkan tatapan dan anggukan ibu bapa guru mengarah ke kepalaku. Menyebut namaku.
“Kalau tak penting, buat apa ditulis ?” Kalimatku meluncur keras bagai pisau di bawah sepatu menari pada permukaan salju seluas lapangan bola dalam anganku.
Bapa ibu guruku menatapku, pandangannya ganjil, seakan aku fosil yang tibatiba usil bicara asal memakai bahasa asing.”Siapa yang ingin bertanya, tunjuk jari, hanya tentang bab dua, bukan yang lain.”
Mungkin pertanyaanku terlalu sulit, ibu bapa guru tak sanggup menjawabku, berusaha lupa bahwa aku salah satu murid sekolah dasar yang sedang belajar menggunakan nalar.
Aku bersabar, menunggu setiap kesempatan bertanya, setelah menggaris bawahi yang penting. Bapa ibu guru selalu berkata ,”Siapa yang ingin bertanya, angkat tangan.” Aku dan teman sekelasku mengangkat tangan menunjuk atap.
“Kalau tak penting, buat apa ditulis.” Aku masih mengatakan kalimat serupa sampai bertahuntahun kedepan, sampai papan tulis hitam di depan kelas memutih, berkilau dan licin wajahnya. Ibu bapa guru setia tak hiraukan tanyaku.
Di akhir tahun kudapati buku pelajaranku penuh garis bawah berwarna merah. Kalimatkalimatnya tampak seperti mengendarai kereta api menderuderu meruntuhkan sabarku. Nalar masih kecambah, belum berakar, belum tertanam, selama bapa ibu guru belum memberi alasan kenapa harus ada pahlawan, kenapa hendak melawan jaman, kenapa perlu berjabat tangan, kenapa tuhan menciptakan setan.
Garisgaris bawah berwarna merah bergetar, seperti marah, atau justru tertawa, tak ada bedanya kulihat. Yang tak penting tetap tertulis, terselip di antara kalimatkalimat penting bergaris bawah merah di atas kertas. Harus diingat agar lulus ujian. Yang tak penting melayanglayang bebas di halaman bukubuku, bebas sebebas bebasnya, tanpa garis bawah merah. Nalar tak hendak ingkar, setia, sabar, seolah paham ibu bapa guru masih belum tamat belajar mengajar sekolah dasar.
Kata siapa, garis bawah berwarna merah menyelamatkan negara*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar