Kamis, 24 Februari 2011

tak ada yang benar

Dalam tas tangannya, perempuan itu selalu menyelipkan beberapa bunga kecil, tak diketahuinya jenis dan nama masingmasing bunga, dia hanya tahu warnanya, beberapa berwarna putih, yang lainnya ungu, merah jambu. Baru dia bisa berdiri atau berjalan dengan tenang di semua sudut dan ruas remang yang biasa dilewatinya tiap malam. Malam yang selalu sama gelap dan panjang, terutama di musim hujan. Tapi bunga dalam tas tangannya membuatnya tenang, seperti sebilah senjata tajam, atau sepucuk senapan, bungabunga kecil dalam tasnya menjaganya dari bahaya, bahkan juga menenangkan resahnya karena cuaca buruk.

“Tak lama lagi emak bisa menjagamu.”

“Mak…”

“Emak ingin meninggalkan sesuatu untukmu, tapi tak ada apaapa, selain cerita, maukah kau mendengarnya ?”

Hidup sesederhana yang diduga semua orang, tak ada yang rumit, tak ada yang sulit. Emak hanyalah perempuan biasa yang pernah dilahirkan seorang perempuan biasa juga, pernah dicintai, pernah dibenci, pernah melewati banyak tawa dan airmata. Pernah sehat, pernah sakit, pernah memaki, pernah dimaki. Semua diingat emak dengan sempurna. Hanya satu yang emak tak bisa ingat, mati. Emak tak ingat pernah mati, hingga bagian itu jadi gelap sebelah, konon seperti wajah bulan yang sedang tersenyum tajam malam itu.

Anak perempuan itu memilih mengingat bagian yang buruk lebih dahulu, seperti kebiasaannya memakan nasinya banyakbanyak dulu, menyisakan lauknya di sudut piring untuk dinikmati saat terakhir, bersama seekor kucing betina yang selalu datang dan menungguinya di waktu makan. Itulah yang dipelajarinya dari emak, perihal anak perempuan pengkhayal yang gemar menggambar bajubaju indah diceritakan emak belakangan, sesudah semua kisah sedih dan ngeri.

Anak perempuan itu masih terlalu muda untuk mencerna kalimatkalimat duka, semua yang didengarnya serupa kabut, menyentuh telinganya dengan rasa dingin dan ngilu. Belakangan setelah anak perempuan itu lebih dewasa, tahu membaca surat kabar, pernah dia menyangka emaknya pasti mendapatkan cerita dari membaca surat kabar yang sama seperti miliknya, kisahnya mengerikan, menakjubkan. Anak perempuan yang sudah jadi gadis muda itu malah lega, ternyata cerita emak bukan kisah nyata.

Kenyataan selalu tak seburuk dongeng dan legenda. Nyatanya gadis muda itu tetap tumbuh, tak kekurangan apaapa setelah emak tak ada. Hanya suara dan wajah emak yang terpahat dalam ingatannya. Kucing betina juga masih selalu datang di waktu makan, menunggunya berbagi suapan terakhir yang paling sedap, sesendok nasi dan sepotong ikan goreng. Tak ada yang mengerikan di bumi selain mimpi buruk, dan bagusnya gadis muda itu jarang tidur. Terlalu banyak kesenangan terjadi di malam hari, hingga tidur dan harapan untuk bermimpi indah sama sekali tak dibutuhkan. Persis kunangkunang, atau kembangkembang paling wangi, memilih malam untuk bersinar dan mekar.

Kembang sedap malam, adalah salah satu bunga yang tersimpan dalam tas tangan perempuan itu, kebetulan yang satu itu diketahuinya jenis dan namanya. Putih, kecil, sangat wangi, banyak tumbuh di mana saja, hingga mudah didapat, melati sudah agak langka. Semasa emak dulu semuda gadis itu, melati adalah kembangnya. Terselip di manamana, di rambut emak. di lipatan baju, dalam tas emak, di bawah bantal dan sudutsudut tempat tidur, wangi melati semerbak di mana saja emak ada.

“Di kain bedongmu dulu, selalu emak selipkan juga melati. Melati itu yang bikin bapakmu jatuh hati, bikin bapakmu tak bisa ke manamana dalam waktu lama, lalu kau ada.”

“Kemana bapak, mak ?”

“Pergi.”

Anak perempuan itu masih terlalu kecil untuk membaca beritaberita di surat kabar yang terbit sehari sesudah bapaknya tak ada lagi.

“Kemana ?”

“Sebentar lagi emak juga akan ke sana, nanti kamu juga akan ke sana, ketemu emak dan bapak lagi, kalau kamu tak nakal dan sekolahmu pintar.”

Tak lama itu seberapa lama, anak perempuan itu menyesal tak menanyakannya, sebab terlalu senang mendengar cerita emak, bahwa nanti akan bertemu lagi dengan bapak, sudah lelah anak perempuan itu menahan diri setiap kali ada yang mengejeknya tentang bapaknya yang pergi. Emak selalu cuma berkata,”Sabar ya nduk.” Begitu sering katakata itu diucapkan emak, hingga akhirnya jadilah katakata terakhir yang diucapkan emak,”Sabar ya nduk.”

Anak perempuan itu tetap tinggal sendiri di rumah kecilnya, hidup dari belas kasihan dan kebaikan orangorang di sekitarnya. Emak pernah bilang, tak ada yang benarbenar jahat di dunia, mereka yang mengejeknya juga memberinya makanan dan bajubaju, lengkap dengan seragam sekolah, kaos kaki dan sepatu. Masih pula ditambah tas sekolah dan bukubuku. Emak ternyata benar, meski sebagian ceritanya ternyata hanya ceritacerita dari surat kabar, bukan kisah nyata.

Dunia selalu indah bagi seorang gadis muda, terlebih yang menyimpan wangi melati dalam lipatan kulitnya, emak ternyata sangat bijak, menyelipkan melati di laipatan baju dan alas tidurnya dulu, bikin wanginya meresap ke balik kulit, tinggal abadi dalam sesuatu yang dia tak tahu. Wajahwajah ramah, rayuan manja, surat cinta, dan tentu saja juga bungabunga bertebaran di sepanjang jalan yang dilalui gadis muda, andai emak masih ada, mungkin emak akan ikut senang melihatnya gembira.

Gadis muda itu tetap tinggal sendiri di rumahnya yang dulu, dia mulai bekerja dan mendapat upah dari orangorang yang menyuruhnya ini itu, menjaga dagangan, mengasuh anak, mencuci baju, atau apa saja, gadis muda itu selalu melakukan apa saja yang disuruhkan orangorang kepadanya, meski kadangkadang terlalu lelah dan mengeluh, hidup terus berlanjut.

Emak juga pernah bilang, tak ada orang yang benarbenar baik di dunia, mereka yang menyuruhnya juga mengupahnya, membuatnya bisa membeli, memiliki bendabenda yang diinginkan, selayaknya gadisgadis muda lainnya. Mereka yang memujinya juga menghinanya, mereka yang memujanya sekaligus melecehkannya. Pada akhirnya gadis muda itu tahu bahwa sebagian ceritacerita di surat kabar sungguhsungguh nyata. Gadis muda itu bingung, lalu limbung langkahnya.

Tak ada yang benarbenar baik jadi terdengar mengerikan. Tak ada yang benarbenar jahat tak lagi menenangkannya. Orangorang itu selalu saja begitu, tak ada yang benarbenar baik, tak ada yang benarbenar jahat, sama sekali tak menyenangkan, seperti berada dalam ketidakpastian tanpa ujung. Memastikan kegelisahan semakin menghuni lemari bajunya, meja makannya, tas sekolahnya, bahkan tempat tidurnya. Gadis muida itu telah jadi seorang perempuan, seperti emaknya dulu, yang suara dan wajahnya kini semakin kerap memenuhi ingatannya, menorehkan pahatanpahatan luka yang dulu tak pernah terasa perihnya.

Gadis muda telah jadi seorang perempuan, seperti emaknya, menyelipkan bungabunga kecil di manamana. Bukan hanya melati, bunga melati kini sudah jadi bunga langka. Perempuan itu hidup di jaman yang berbeda, bunga melati, pun sedap malam tak lagi tumbuh dan bisa dipetik di banyak tempat sekehendak hati. Maka perempuan itu memetik sembarang bunga kecil yang ditemui dan bisa dipetiknya, untuk diselipkan di manamana, di semua tempat di mana dia ingin diingat oleh yang tak benarbenar jahat, atau dilupakan oleh yang tak benarbenar baik.

Suatu hari bungabunga kecil itu menjelma beberapa kalimat dalam surat kabar. Sebuah berita tentang tas tangan yang kehilangan pemiliknya; seorang perempuan yang tewas terbunuh, tubuhnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah hotel murahan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar