Jadi benar, dunia tak butuh sejarah, tak perlu korban perang, tanpa luka, tak ada darah. Hingga di suatu siang tenang, matahari tak tahan lagi, tejerat hasrat membunuh jenuh, menjatuhkan diri tepat di jantung samudra, laut meluap, bumi berjuang sendiri, terengahengah, habis nafas, pelanpelan tenggelam. Akhir yang sama, setidaknya tak ada pejuang merasa pecundang.
Tapi Tuhan, bagaimana aku bisa hidup tanpa syair yang dituliskan penyair dari anyir darah, dipahat tajam pedang, luka lebih merdeka dibanding surga. Kekasihmu menunjukkan padaku, kau berpesta anggur bersama bangkai pesawat tempur, dalam mabuk, Kausebutkan namanama para penjarah dengan nada mesra.
Tuhan, kau curang, diamdiam menyayangi para pembangkang.
“Jadi sekarang kau merasa benar.”
Aku merasa dungu, kunyalakan pemantik di tubuhmu demi melunasi dendamku pada tuhan, sang maha penyayang orangorang hilang ingatan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar