“Jika tiba waktuku, tak seorangpun akan merayu, tidak juga kau…” Kirakira begitulah kalimat yang kuingat pernah kubaca. Ditulis seorang penyair besar di masa lalu, konon penyair dengan banyak lubang di paruparunya, luka, darah, nanah, berkumpul dalam dadanya, mengaduk nafasnya. Meski tak ada peluru bersarang di sana, pedang tak menusuknya. Darinya aku percaya, asap lebih kejam dibanding logam, lebih tajam, lebih menikam. Seringkali kulihat gambarnya dalam warna suram, dangan rahang terangkat, sigaret terselip di jarinya, matanya memang rada mirip neraka dan mereka memberinya gelar ‘pelopor’ satu angkatan dengan bilangan seram, bilangan yang mengingatkanku pada setan.
Belakangan aku tahu, setan sedikitpun tak seram, segalanya menakutkan kalau belum kenal. Setelah akrab, setan ternyata sangat ramah, jenaka, banyak akal dan gemar tertawa. Bahkan setan bilang, api hanya menggelitik telapak kaki, tak bikin nyeri. Aku percaya, ada banyak orang mampu berjalan di atas bara tanpa alas kaki tak terluka. Setan bahkan lebih baik dari seorang penyair malang, yang hanya berteman sajak menjelang ajalnya, atau seorang pemusik berbakat besar yang cuma mewariskan hymne kematian.
Setan, setanlah yang selalu menemaniku sejak matahari terbenam, membaca sajaksajak dari penyair besar, dengan suara pongah, tapi senyumnya sungguh ramah, setan sungguh baik hati, membuatku merasa tak bersalah saat kukatakan dengan lantang, “Betapa besar kepala penyair itu, siapa yang peduli pada waktunya, siapa sudi merayunya. Selama otak masih bersemayan dalam tempurung kepalaku, tak akan pernah aku merayu. Apalagi untuk seorang penyair, sepintar apapun ia mencipta sajak, tak akan pernah.”
Setan tertawa terbahakbahak, hangat dan gembira, di ujung tawanya setan berkata,”Itulah kehebatan perempuan, intuisi, berani mengatakan dengan pasti segala yang tak bisa diprediksi.” Mau tak mau aku nyengir, setan tersenyum sangat menggoda.
Entah sengaja, entah kehendak siapa, aku dan setan semakin akrab. Entah pula kenapa setan sangat suka membaca sajak, setiap kami bersama sajaksajak seolah jadi santapan lezat, satu lagi kelebihan setan, suaranya merdu dan harum.
Dengan acuh setan menjawab saat kutanya, kenapa bisa merdu dan harum,”Aku hanya makan bunga.”
KIni aku yang tertawa, lama, tawa yang seperti terlalu ringan untuk dilepaskan di udara, sebagian tawa itu untuk diriku sendiri, dan setan tak boleh tahu itu. Bisabisa setan mengejekku tanpa henti, mahluk yang menyenangkan pasti sekaligus juga menyebalkan, begitulah adanya setan, saat ramah setan lebih baik dari malaikat, saat mengejek setan lebih brengsek dari tokek. Setan tak boleh tahu aku bukan hanya suka suara merdu dan harumnya, tapi juga setiap sajak yang dibacanya. Aku yakin hanya orang menyedihkan yang menyukai sajak, puisi, syair, atau apalah namanya. Susunan katakata tak lazim yang bikin pening, itulah caraku dulu mendefinikan kata sajak. Dan aku sekarang mulai kecanduan.
Diamdiam aku kecanduan membaca kalimatkalimat sesat, sendiri. Setan telah begitu pintar memilihkan sajaksajak senapan, berkalikali pelurunya melubangi dada, tapi aku baikbaik saja. Setan sangat paham, apa yang paling membuatku terpesona, sesuatu yang kukenal, namun tak pernah dekat, serupa malaikat, atau tuhan, dan sajaksajak memenuhi semua syarat untuk membuatku tak berhenti jatuh hati. Bercahaya, putih, perkasa, bersayap, bisa mencipta dan menggerakkan semua yang tak ada dan diam, warna tumbuh dari hitam, kilat merekah saat awan hitam menghambur dalam peluk cahaya. Api menerkam udara, menjatuhkan air kepada tanah, tanah menumbuhkan kayu dari batubatu, batubatu menggesekkan tubuh, meletupkan api. Siklus terjalin tak putus, macam kulit apel kupasan perempuan berjiwa besar.
“Hahaha…Kau menulis sajak.” Aku terlonjak, menengok kebelakang secepat kilat, tak ada siapasiapa. Ke kiri lalu ke kanan,”Ahh…!” Aku berteriak sambil membekap bibirku, di dinding sebelah kiriku, seekor tokek besar, hitam kecoklatan memandangku tajam, bola matanya pekat, sesaat bunyi decak terdengar, lalu tokek itu melafalkan bunyi namanya, seperti lazimnya seekor tokek bersuara,”Tok…keekk”.
Hahh, bikin keget saja, jantungku nyaris berhenti, kupikir kau setan baik hati yang biasanya selalu datang, jam berapa ini, biasanya dia sudah datang di waktuwaktu ini.
“Aku memang sudah datang.” Suara itu masih berasal dari arah yang sama, dari dinding tepat di mana tokek menempel, memandangku dangan mata hitam pekat. Kali ini aku tak terkejut, tapi bergidik takut. Tokek saja sudah mengerikan, apalagi tokek yang bisa bicara. Aku ingin kabur meninggalkan ruang, tapi rasa penasaran menang, aku melangkah mendekati dinding tempat tokek berada, mengamati wajahnya baikbaik, itu memang tokek.
“Bicaralah sekarang, kalau kau bisa.” Aku bicara pada tokek di dinding.
“Aku harus bilang apa ?”
“Haahh..!” Aku berteriak sambil membekap bibir lagi, lebih erat dengan kedua tangan.
Tokek itu diam, memandang dengan mata menantang.
“Kau siapa, setan atau tokek ?”
“Kau sendiri, perempuan atau iblis ?”
“Kenapa, kalau kau memang setan ceritakan apa yang terjadi, hingga kau jadi, hmm…bertubuh tokek, dulu kau keren, suaramu merdu dan harum.”
“Dulu, dulu aku lelaki, kau perempuan, sebelum kalimatkalimat aneh itu mengutuk otakmu jadi sebongkah permata.”
“Benarkah ?”
Ck…ck…ck..ck…tok…keekk.
“Ha…ha…ha… Kau pintar menyamar, kalau mereka melihatmu, kau bisa diburu, dibunuh, dijadikan obat penyakit langka. Menyedihkan kenapa mereka semua ingin sembuh.”
“Kaukah yang dulu menggigit pergelangan tangan ayahku, bekas gigimu tak bisa hilang.”
“Bukan aku, mungkin ibuku.”
“Ha..ha..ha.. Bagusbagus, sekarang akan kubacakan sajaksajak hebat untukmu.”
“Kaukah yang membunuh ibuku, dalam karung itu ada ibuku, mereka menangkap seluruh kerabatku untuk seseorang yang sekarat, tapi itu bodoh. Bagaimana mungkin seorang berotak percaya seekor reptil bisa menyembuhkan, apapun sakitnya.”
“Bukan aku, sungguh, aku cuma mengintip dari balik pintu, menggeletar ketakutan. Kakekku yang menyuruh meraka.”
“Sudahlah, sekarang kuanggap kita sudah impas, kau bilang mau membacakan sajak.”
“Jika sampai waktuku, tak seorangpun akan merayu, tidak juga kau…”
“Ha..ha..ha.. Kau tidak sungguhsungguh.”
Aku merasa kepalaku berdenyut, sebongkah keras dalam tempurungnya melumer, entah terbakar apa, aku merosot lemas, tak bisa menggerakkan tubuh. Tokek meloncat ke wajahku, mengecup bibirku.
Kejadiannya sangat klise, seperti adegan di filmfilm saat kutukan punah oleh sebuah kecupan.
Aku dan tokek di dinding kini bicara bersahutan, saling memanggil nama masingmasing.
Kami saling tersenyum ketika seorang penyair menghitung berapa kali kami saling menyebut nama dengan mesra*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar