Kamis, 24 Februari 2011

ambigu

Seharusnya tidak menulis lagi, udara malam berbisik sepanjang jalan pulang. Seperti biasa, aku mendebat, kenapa. Setelah tak sanggup membaca, haruskah tak boleh menulis. Aku harus jadi apa, kalimatku serupa jedajeda di antara putaran roda, menggelinding, tak ada satu matapun mengikuti, tak juga mataku sendiri, ini hanya kisah, direkareka sederet kata.

Seorang anak lelaki kecil duduk menunduk, memandangi tanah hitam di bawah kakinya. Tak tahukah dia bulan sedang purnama, langit sejuk, beberapa bintang kecil, meski tak amat banyak, tapi ada. Aku ingin memanggil ayah padanya.

Tak punya kenangan di mana kaki pertama melangkah, membuat sebagian diriku mengejek bagian lainnya, satu, dua, tiga, empat, aku terus menghitung bagianbagian tak dikenal pada tubuhku. Siapa menitipkan bongkahbongkah asing di dada, kening, lengan, betis, siapa ? Sayupsayup kudengar awan bergeser, membetulkan letaknya, agar puas menonton setiap bagian dunia.

Kucari anak perempuan, aku perlu seorang anak perempuan untuk kupanggil ibu. Anak perempuan yang mahir menjahit baju boneka, menyusun manikmanik plastik, jadi gelang dan kalung penghubung masa lalu. Dia mestinya sedang mewarnai gambar istana di sebuah sudut kota.

Aku ingin menulis bisikan mesra debu kepada angin ketika menyentuh rambutku. Aku ingin menulis suara harmonika dalam benakku merangkak keluar dari telinga menusuk mata. Aku ingin menulis aroma udara menyusup masuk lewat hidung menerobos keluar di celah bibirku. Aku ingin menulis setiap kisah terbaca bagianbagian tubuhku menyimpan rahasia. Aku ingin menulis, aku ingin menulis segala yang kusangka bisa kutulis setelah aku membaca udara.  Aku ingin menulis semua alasan kenapa seharusnya aku tak menulis apaapa.

Ayah, aku melihatmu duduk di atas sepeda, memandangi anakanak ayam yang baru datang di depan toko pakan ternak. Ayah, kau begitu asyik mengamati gumpalan daging mungil berbulu kuning yang berciap tanpa henti hingga terlambat menjemputku pulang sekolah.

Ibu, aku sembunyi di antara deretan kain dan bajubaju, diamdiam mengamatimu memilih kancing dan benang. Kau sungguh anggun bergaun biru. Ketika kau sudah temukan benang dan kancing yang kaucari, kau menengok ke samping, mendapati aku sudah tak ada.

Aku tahu, kenapa itu, kujawab sendiri saja dari pada lelah menunggu suarasuara dari lorong bawah tanah. Sesungguhnya aku tak bisa menulis apaapa. Hanya bisa melukis sketsa hitam putih kota, asap kelabu, debudebu ungu, penantian waktu. Sketsa wajahwajah asing penghuni bagianbagian tubuhku, yang tak saling kenal, tapi kekal menancapkan benderabendera putih di sepanjang jalan menuju rumahmu*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar