Aku mencintaimu, maka kuusir kau dari perutku. Hanya ada satu ruang di situ, remang dindingnya, gamang lantainya. Dengan seribu bayangan tak berhenti menari , bergerak acak macam cuaca di akhir jaman. Pergi saja, sebelum lantai di situ retak, menjatuhkanmu dalam lubang tak berdasar, tentu kau mengerti, tak mau membuatku repot mesti menyuruhmu hatihati selalu. Kubisa menjagamu saat mataku terbuka, tapi aku lebih sering tertidur, menutup mata menemui mimpi yang berdiam dalam gelap. Sekali lagi kuminta, pergilah. Sebelum pahit empedu tersentuh olehmu, tak akan bisa kumaafkan diriku, jika sampai kau kenapakenapa.
Kau diam membatu.
Kutawarkan padamu, kepalaku, baiknya di sana kau berada, jika tak ingin beranjak dari tubuhku. Di kepalaku ada banyak ruang, lebih aman dibanding perut yang kacau. Ada peradaban dan kota di kepala, meski tak sempurna. Ada ruang kerja, ruang makan, ruang bermain, ruang baca dan perpustakaan, bahkan ada sebuah aula di mana kau bisa berlatih sekaligus main sirkus, oh, juga ada kebun binatang dan kolam renang. Kalau kau mau, bisa juga kubangun lapangan futsal atau padang golf dalam kepalaku, untukmu. Kau tahu, mataku sudah menelan seluruh dunia. Kemarilah kau, kepalaku juga selalu terang disinari lampu, perusahaan listrik mengirimkan tagihan ke ruang kerjaku saban bulan. Dengan segala hormat, kuminta kau hijrah dari perut ke kepala.
Kau tertawa.
Sekali lagi kuminta dengan hormat, pindahlah, jangan dalam perut, tempat buruk, suatu ketika di sana juga berbau busuk. Kepalaku saja, kucuci rambutku tiap hari, wangi apel dan stroberi, kau pasti betah, kepala tempat yang lebih masuk akal.
Tak terdengar jawabmu.
Tubuhku menguning, darahku menguning, tak lama kemudian membiru. Kudengar suara sendawa dari dalam perutku, keras dan puas.Kau baru saja menelan hatiku sampai habis. Darahku sekarang berwarna biru. Ruangruang dalam kepalaku bergetar hebat, runtuh satu persatu. Tsunami di sekujur tubuhku. Aku terseret arus, menabrak kursi, rak buku, meja, lemari baju, tiang lampu. Tenggelam dalam, dalam, tak berdasar, tak ada ruang. Sesaat lagi aku pasti hilang.
Kau mendekap erat, aku tenggelam, dalam, tak berdasar.
“Ada saran,” Akhirnya kau berkata.
Aku tak hilang, mendengar, hanya tenggelam.
Diam*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar