Kusembunyikan suaramu di balik tumpukan baju. Kaki menyuruhku melangkah ke tahuntahun asing, jauh, jauh dalam rongga tak di kenal, suarasuara berkata, terus jalan, di bawah cahaya lampu batubatu tertawa. Usia dihitung dengan siasia. Lihat, katakata membelah bulan tanpa belas kasihan, selalu hanya satu sisi menghadap cahaya.
Seperti si bodoh tumbuh dari mangkok bakso, saus dari pepaya busuk mewarnai bibirku, buku pelajaran berkhianat, mengajariku cara mendaur ulang kepalsuan. Tak seperti uang logam dengan tulus menghargai nyanyian. Aku ada di surga, kolong tempat tidur tempat terhormat untuk kotakkotak lapuk, segala benda yang pernah dikoyak hujan. Kenapa begitu sayang, kau diam, seolah tuas besi di perlintasan kereta api, jam dua pagi.
Satu jam lagi untuk satu lamunan tentang sepatu dan majalah baru, seteguk hitam malam, sehembus uap dingin, lalu hidungku akan berhenti mengendus harum tubuhmu sehabis mandi. Kau sedang terburuburu mencari kunci, air menetes dari rambutmu, hujan kecil. Betapa manisnya hujan kecil membasahi sepuluh jari*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar