Saban malam dinding kamarnya makin penuh, selalu bertambah bintangbintang terbit di sana. Dia yang menerbitkan bintang dengan warna merah di dinding kamar sedang berbaring memandang bintang merah ciptaannya, berhamburan di dinding putih, sebagian sedang berputar saling menyapa.
Bintang lebih mudah digambar dibanding domba. Dia suka, kata bintang serima petang, semua benda dengan tanda bintang, hanya orang berjasa yang boleh mengenakan tanda bintang di bajunya, disematkan dengan takzim oleh yang berkuasa, tanda hormat dan kagum, pada keberanian atau kesetiaan, dua hal yang tak pernah dimilikinya.
Warna merah tak disukainya, tapi warna merah yang dikenangnya sesaat sebelum terlelap, warna merah, bibir ibu, membisikkan dongeng pengantar tidur. Matamata dengan urat merah simpang siur di dalamnya. Mananak doa jadi begitu lunak, langsung bisa ditelan tanpa cemas tersedak.
Dia butuh bintangbintang merah untuk dihitung agar bisa tidur. Menghitung bintang merah sangat tak menyenangkan, namun harus dikerjakannya. Membeningkan mata, memenangkan kepala. Kepala pening tak lagi mampu berdering, maka setiap malam dia mendapati hitungan terakhirnya tak pernah sama.
Bintangbintang tumbuh saban hari, dari putih dinding kamarnya, merambati mata dan wajah. Dia tersenyum kepada bintangbintang di luar rumahnya, teriingat janji tuhan kepada nenek moyangnya, tanda merah di pintu, darah domba, malaikat maut tak akan mengetuk pintu, hanya lewat dan bertanya,”Sampai hitungan keberapa, sudah tidurkah ? Semoga memimpikan surga”
Dia akan menjawab sapaan malaikat maut dengan melemparkan satu bintang merah lewat jendela. Malaikat maut pasti senang, merah warna kesayangannya. Bangkai domba bertumpuk di kolong tempat tidurnya, menemaninya memimpikan surga, warna yang tak bisa diingatnya. Dia tersenyum lagi sambil berpikir ibuku pasti perempuan sopan, tak pernah mengangkat telapak kakinya lebih tinggi dari bumi.
Dia teruskan menghitung, bintangbintang merah mengatupkan matanya satusatu*
Bintang lebih mudah digambar dibanding domba. Dia suka, kata bintang serima petang, semua benda dengan tanda bintang, hanya orang berjasa yang boleh mengenakan tanda bintang di bajunya, disematkan dengan takzim oleh yang berkuasa, tanda hormat dan kagum, pada keberanian atau kesetiaan, dua hal yang tak pernah dimilikinya.
Warna merah tak disukainya, tapi warna merah yang dikenangnya sesaat sebelum terlelap, warna merah, bibir ibu, membisikkan dongeng pengantar tidur. Matamata dengan urat merah simpang siur di dalamnya. Mananak doa jadi begitu lunak, langsung bisa ditelan tanpa cemas tersedak.
Dia butuh bintangbintang merah untuk dihitung agar bisa tidur. Menghitung bintang merah sangat tak menyenangkan, namun harus dikerjakannya. Membeningkan mata, memenangkan kepala. Kepala pening tak lagi mampu berdering, maka setiap malam dia mendapati hitungan terakhirnya tak pernah sama.
Bintangbintang tumbuh saban hari, dari putih dinding kamarnya, merambati mata dan wajah. Dia tersenyum kepada bintangbintang di luar rumahnya, teriingat janji tuhan kepada nenek moyangnya, tanda merah di pintu, darah domba, malaikat maut tak akan mengetuk pintu, hanya lewat dan bertanya,”Sampai hitungan keberapa, sudah tidurkah ? Semoga memimpikan surga”
Dia akan menjawab sapaan malaikat maut dengan melemparkan satu bintang merah lewat jendela. Malaikat maut pasti senang, merah warna kesayangannya. Bangkai domba bertumpuk di kolong tempat tidurnya, menemaninya memimpikan surga, warna yang tak bisa diingatnya. Dia tersenyum lagi sambil berpikir ibuku pasti perempuan sopan, tak pernah mengangkat telapak kakinya lebih tinggi dari bumi.
Dia teruskan menghitung, bintangbintang merah mengatupkan matanya satusatu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar