Sejak tadi ingin kutuliskan puisi untukmu, tapi katakata tibatiba lari, berhamburan dari kertasku. Kucoba mengejarnya sekuat dayaku. Katakata sangat lincah, berkelit di antara punggung manusia, merunduk di kolongkolong meja sepanjang jalan, sembunyi di balik pohon, tembok dan tikungan jalan, bahkan sesekali nekat hinggap di jarijari roda yang sedang berputar. Aku sangat cemas katakata akan celaka, aku membutuhkan katakata setara kubutuhkan udara.
Harus kutangkap kembali katakata yang kabur dari kertasku, apapun taruhannya. Aku terus mengejar sampai kelelahan. Sampai sungguh tak lagi sanggup bergerak. Kujatuhkan tubuhku di tepi jalan, masih memandang katakata dari kejauhan. Katakata masih lincah bergerak di bawah sinar lampu, tak menengok ke belakang barang sekejap, semakin lama semakin jauh. Akhirnya katakata tak lagi bisa kuikuti dengan mata, hilang sudah.
Aku pasrah, dengan sedih dan kecewa berkecamuk dalam dada, kenapa katakata tibatiba berkhianat, tibatiba menjadi begitu pengecut, taga meninggalkan aku yang selalu setia menyusunnya pada kalimat, menjaganya dalam baitbait bermakna. Sejak dulu aku dan katakata selalu teman setia, sampai malam ini, katakata lari dariku tanpa penjelasan.
Malam kian larut, pintupintu mulai tertutup, punggungpunggung berjalan pulang, rodaroda berputar semakin cepat seakan takut tersesat. Aku berdiri, melangkah pelan, aku harus pulang, meski tanpa katakata. Aku ngeri membayangkan bagaimana harus kulalui sisa malam ini tanpa katakata, temanku yang biasanya paling setia. Aku teringat betapa aku dan katakata biasa bercengkrama bersama, berbagi rasa, menanggung dingin dan sunyi ruangan, hingga datang pagi. Kulangkahkan kakiku tanpa semangat menembus hamparan kosong malam.
Sepertinya dunia merasa iba, menyingkirkan segala yang tadi nampaknya menghalangi langkah ketika kukejar katakata, percuma katakata sudah hilang. Diamdiam aku justru berharap semua zat dan benda menghadang langkahku saat ini, agar tak pernah tiba kembali dalam ruang di mana aku sungguh sendirian, ruang yang akan membuatku teringat bahwa aku kehilangan sesuatu senilai hidupku, puisiku untukmu, bagaimana bisa kutulis puisi tanpa katakata.
“Ssttt…” Kudengar sebuah suara sangat dekat di telinga. Sepertinya suara katakata. Jantungku berdegup kencang, entah secepat apa kutengokkan kepala. Dan benar, katakata sedang duduk di atas sebuah balon berwarna merah muda yang baru melintas. Aku seketika berniat mengejar, tapi segara kuurungkan niatku, tak mungkin aku yang sudah sangat letih sanggup mengejar katakata di atas balon yang sedang melaju bersama motor. Aku hanya bisa menatap dengan putus asa, menundukkan kepala, terlalu berat kesedihan di mataku.
“Ssttt…” Pasti ini hanya ilusi, katakata pasti telah jauh meninggalkanku. Aku tak lagi menengok, tak ingin merasakan lebih banyak kepedihan.
“Ssttt…”. Suara itu kembali terasa begitu dekat di telinga.
“Hey…Kau kembali…!” Aku tak yakin senyaring apa teriakanku, aku begitu terkejut, katakata berada tepat di sampingku.
“Ssttt…” Suaranya terdengar sehangat sahabat.
“Kenapa, kenapa kau lari dariku ?”
“Aku lelah.”
“Lelah ?” Aku merasa bersalah,”Katakan aku harus bagaimana, agar kau mau kembali pulang bersamaku.”
“Aku tadi bermain air mancur di alunalun.”
“Kau lelah, kenapa? Jelaskan padaku, kau mau bermain air mancur lagi sekarang, tak apa. Aku ikut, asal nanti kau pulang. Jangan tinggalkan aku, kau satusatunya teman setia yang kupunya.”
“Aku lelah, kau selalu menuliskan dusta.”
“…”
“Aku merasa tak sanggup terus berpurapura.”
“Berpurapura apa ?”
“Purapura masih hidup dan bahagia.”
“…”
"Kau sungguhsungguh mau bermain air mancur ?"
Aku mengangguk, sesaat kemudian kami bergandengan tangan, berjalan ke arah alunalun. Aku terpana melihat bintangbintang berloncatan di kolam*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar