Dari semula dia tak pernah merasa kalau sedang sakit, sampai temannya yang kata orangorang sakit menjadi sembuh, meninggalkan taman teduh dan loronglorong tanpa dinding yang biasa dilewatinya saban pagi. Dia menjadi sendiri, bercakapcakap dengan angin, rumput dan batubatu dengan bahasa bisu, tentang orangorang yang selalu mengenakan baju yang sama setiap hari. Putih.
Perempuanperempuan berbaju putih dengan penutup kepala berbentuk lucu, dia kerap ingin tertawa saat melihatnya, tapi tak tega melukai hati perempuanperempuan itu. Lelaki lebih sedikit jumlahnya, putih pula warna bajunya, mereka selalu menggunakan wewangian khas yang mengingatkannya pada wangi pembersih lantai di rumah salah seorang temannya. Lelakilelaki berbaju putih yang malang, mereka membawabawa sebuah alat, tergantung di lehernya.
Dengan alat itu lelaki berbaju putih mendengar suarasuara dari dalam dadanya. Dia merasa bangga bisa membuat lelakilelaki berbaju putih itu sedikit nampak lebih bergairah hidupnya dengan bunyi yang berasal dari dadanya. Dia teringat pada rumah kerang besar penahan daun pintu di rumah kakeknya yang menyimpan bunyi laut di dalamnya. Dulu dia gemar menempelkan rumah kerang besar itu pada telinganya untuk mendengarkan bunyi laut, suara laut selalu membuatnya tersenyum. Tak jadi masalah jika itu terasa ganjil dalam pikirnya, lelaki berbaju putih yang menempelkan alat serupa mainan pada telinga, membuatnya juga ingin tertawa, tak jadi soal dia tak ikut mendengar bunyi dadanya sendiri, asal lelaki berbaju putih itu bisa terhibur dan tak cemas lagi. Dia tahu lelaki berbaju putih itu tak akan rela meminjamkan barang sebentar alat itu, macam temanteman masa kecilnya yang selalu menangis sedih kalau dia meminjam mainan meraka.
“Selamat pagi mas Simon,” suara permpuan berbaju putih terdengar merdu bersahutan menyapanya setiap pagi, saat dia sedang berjalan di lorong atau dudukduduk di salah satu bangku. Dia selalu tersenyum, meski tak pernah mengangguk atau membalas salam perempuanperempuan berbaju putih itu. Dia merasa beruntung bahwa ada banyak orang bersikap ramah padanya.
Makanan selalu terhidang pada waktunya, dengan menumenu yang membangkitkan selera. Perempuan berbaju putih sangat pandai memasak, meski topinya sama sekali tak mirip topi juru masak. Ahh, dia ingat, mereka samasama berbaju putih, perempuanperempuah di sini dan juru masak di restoran dan hotelhotel.
Dulu saat temannya masih bersamanya, dia dan temannya selalu makan bersama, sambil berbincang dan tertawatawa. Sekarang dia makan sendirian saja, sambil sesekali mengembangkan senyumnya ke segala arah. Dia masih selalu berharap temannya suatu ketika akan muncul tibatiba, duduk di sampingnya, menemaninya makan seperti dulu.
Harihari selalu cerah dan hangat baginya, secerah senyumnya, tak ada alasan apapun yang bisa membuatnya berhenti tersenyum. Dunia ini indah, selalu suara itu yang diingatnya, atau dia sengaja menyimpan ingatan itu baikbaik dalam lubang telinganya sendiri. Serupa kulit kerang besar menyimpan suara ombak. Hidup semerdu suara laut dalam ingatannya, dan dia tak menginginkan apapun selain tersenyum.
“Sekarang mas Simon sudah lebih baik ya, selalu makan sampai habis, dan yang terpenting tak lagi suka bicara sendiri.” Suatu hari salah satu perempuan berbaju putih berkata dengan riang sambil memandang piring kosong di hadapannya.
Seperti biasa dia hanya tersenyum, hanya dalam hati dia menjawab,”Dari dulu selalu kuhabiskan jatah makanku, yang tertinggal di piring itu bagian temanku, tentu tak akan kumakan juga, mana boleh begitu. Tapi temanku toh pergi juga, sekarang aku tak bicara karena tak ada temanku, tak mungkin aku bisa bicara sendiri, nanti orangorang bisa ketakutan, mengira aku gila.” Hanya dalam hati semua itu dikatakannya, dia tak pernah sampai hati bicara dengan siapasiapa, sejak teman bicara satusatunya meninggalkannya sendirian di dunia yang indah dan sempuna. Dunia yang membuatnya selalu tersenyum*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar