Selasa, 22 Februari 2011

jihat

Berdiri di perempatan jalan, dia memandang badanbadan tegak berjalan, mengusung berlembarlembar tulisan, berteriakteriak, kalimatkalimat bertabrakan di udara. Dia merasa kesepian, murung dan kehilangan kesempatan.

Beberapa mata menemukannya dan berkata,” Jangan sedih, kami akan menyusun barisan membelamu, sampai titik darah penghabisan.”
Dia semakin kesepian, semakin murung, berbisik sendiri dalam kepalanya,”Tak akan ada kesempatan yang bisa lewat, jalan telah jadi sangat padat.”

Kalimatkalimat larut dalam kepulan asap, seperti gelondong kayu terseret ke muara, seperti daundaun kering tersapu angin. Menusuk matanya bersamaan, seakan tak ada tempat untuk berdiri lagi, dia semakin tersiingkir, tak sanggup terus berpikir.

Menjelang siang jalanan sedikit lenggang, tapi sudah terlambat baginya untuk menyelamatkan rumputrumput yang terinjak. Dilihatnya badanbadan berjalan ke arah barat, dia melangkah pelahan, memunguti kertaskertas yang berserakan. Dia tak bisa membaca kalimatkalimatnya, namun didengarnya sayupsayup bunyi paruh burung pelatuk, riuh mematuk puhon tumbang di mana dulu sarangnya pernah bertahta. Dia mulai bersiul, telingatelinga yang sempat mendengar lagunya pelanpelan menundukkan kepala, mungkin mengantuk. Dia terus bersiul sampai kepalanya sendiri tertidur*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar