Jika puisi punya ayah dan ibu, tak akan yatim piatu jiwaku. Setiap malam akan membacakan kisah seribu satu malam. seribu satu malam mematahkan krayon dua puluh empat warna, atau lebih banyak yang bisa diberikan satu hari dalam perjalanan pulangpergi antara rumah dan sekolah, antara sekolah dan toko serba ada. Menggotong bukubuku yang tak henti menggerutu.
Ibu akan mencuci rambutku tiap kali aku mengantuk, debudebu di sekujur tubuh membeku, aku berdiri di tengah taman kota, menghapal baitbait buta dari kitab tua. Ayah belikan kaca mata, agar lancar membaca, air mancur menganggukangguk, lehernya terlalu panjang menjulur sampai ke luar angkasa. Harihari selalu pendek bagi yatim piatu, menyenangkan sekaligus mencengangkan, rumput bisa tumbuh dari tembok sekolah, menjadi hutan kecil dengan tujuh orang bajang penggali intan.
Menjinjing tas penuh negeri dongeng kudatangi guru bahasa, bertanya, siapa nenek moyangku. Guru bahasa menatapku bingung, menunggu kububuhkan tanda tanya di akhir kalimatku. Ya, sudahlah, puisi mungkin memang yatim piatu, hanya sederet kalimat dungu berbaris di lapangan, memberi hormat pada bendera. Batubatu menyusun menara, sebatang ilalang menusuk jari kakiku, aku tak terluka, hanya tertidur, tidur teramat panjang, seribu satu malam.
Dalam salah satu mimpi, aku berjumpa burung parkit biru tekun menganyam sarang dari serpihan kertas, bertelur, mengerami telurnya sepanjang hari, memenuhi udara dengan penantian. Entah di mimpi yang keberapa, aku lupa, telutelur burung parkit biru menetaskan ular dengan seribu tanda tanya di sekujur tubuhnya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar