Saat siang begitu gerah oleh resahku kehilanganmu, kubulatkan tekadku untuk mencarimu kemanapun. Aku ingat kau bilang, kau suka ada dalam hatiku. Maka kumohonkan pada segala dewa agar bisa kucari kau di situ, di hatiku.
Tak disangka rupanya, ada dewa sedang baik hati dengarkan pintaku, namun sayangnya dewa ini punya cara pikir aneh dan unik. Aku diberinya sebutir bawang merah, “Inilah hatimu, cari dan temukan apa yang hilang disitu.”
Belum sempat kulontar tanya, sebelum kukata terima kasih, dewa sudah menghilang, bahkan bayangbayangnyapun tak bersisa, lenyap bagai asap ditelan udara.
Aku bengong dengan sebutir bawang merah dalam gengaman , hanya sekian detik, sebelum teringat dengan gembira mungkin kau akan kutemukan segera dalam hatiku yang kini mewujud bawang merah ditanganku. Entah bagaimana nanti, kau akan kutemukan dalam benda sekecil bawang merah. Aku tak mau tahu, Cuma mau cepat temuimu. Itu saja, rindu.
Hanya ada satu cara untuk temukan kau dalam sebutir bawang merah. Melihat yang tersembunyi di balik kulit ari dan apa yang terdiam di tengah umbi. Maka mulailah aku mengupas helai tipis kulit bawang merah, hingga nampak sebutir umbi jernih berwarna ungu pucat, kemerahan dan jernih, ah inikah hatiku, lumayan, tak seburuk yang seringkali kucemaskan, dan warnanya mengingatkanku pada warna kelopak teratai. Namun sayang belum ku temukan kau satelah seluruh kulit terkupas.
Mestinya kau ada di dalam umbi, seperi putri thumbelina meringkuk dalam kuncup bunga. Aku jadi tersenyum membayangkan kau, yang kadang sungguh manja dan sok imut. Jadi bagaimana ini, aku harus mengiris bawang merah jelmaan hatiku ini untuk menemukanmu. Sering terlintas di benakku kenapa kau begitu senang membuatku susah. Kenapa kau tak jadi macam kekasihkekasih lain yang sederhana, tak banyak tingkah, pun tak keras kepala. Tapi segera aku tersenyum kembali saat terlintas dalam pikirku, jika kau sama dengan mereka tentu dalam sekejap aku akan muak dan bosan. Kau sungguh berbeda, dan itulah yang membuatku tergila padamu. Jadi tetap aku harus temukan kau, walau harus kurajang hati bawang merahku.
Maka mulailah aku merajang, dengan alas telenan kayu, pisau paling tajam kesayangan ibuku, tekun kuiris tipistipis butir hatiku. Tibatiba terlintas dalam pikirku, bagaimana jika terpenggal dirimu olehku tanpa sengaja, ah alangkah ngeri. Lalu aku jadi sangat hatihati tiap habis teriris selambar tipis, kuamati dengan cermat umbi kecil hatiku itu. Setelah yakin kau belum tampak sedikitpun baru kulanjutkan mengiris lagi.
Tak terasa telah lebih dari setengah bagian bawang merah teriris tipis, tak ada tanda sama sekali akan keberadaanmu di sana. Sementara mataku telah begitu pedas, berderai airmata, karena rasa pedas, waswas, dan nyaris putus asa. Sepertinya kau takkan bisa kutemukan dalam sebutir bawang merah. Sungguh gila dewa yang tadi menjawab doaku, rupanya sudah dipermainkannya rinduku. Mungkin sekarang dewa itu sedang terbahak melihatku telah termakan permainannya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar