Kucoba mengingat matahari yang terbenam itu, setiap guratnya, warnanya, biasnya, bahkan sampai aromanya. Kau bilang lagulagu lebih membekas sayatnya dibanding warna, maka aku mendengar, mendengar matahari melangkah dalam jantungku. Dug, dug, dug, kau tersenyum. Penjual bakmi lewat di depan rumah bersama matahari. Adaada saja, masa iya bisa begitu indah jika kau ada.
Jiwa penulis ada pada penanya, jiwa penyanyi ada pada suaranya, tapi jiwa penari ada di sekujur tubuhnya, kau lagilagi berkata dengan sok tahu. Kau pasti tak tahu aku belajar menari sejak saat itu, untukmu. Kuamati arus sungai, nyala api, ombak, gerak tangan penjual bakmi. Semua mendadak mahir menari. Mustahil, mereka semua menari saat kau ada di sini.
Aku mengerjapkan mata, bumi berganti rupa. Kau bukan senja, bukan hujan, bukan halilintar, bukan angin, bukan pelangi. Kau bukan semua yang singgah hanya sebentar meneduhkan mata. Kau bahkan bukan kau, aku berpikir sambil memandang kau makan, suapanmu besarbesar. Aku mengernyitkan hidung, memicingkan mata, mencoba merumuskan kau setara dengan apa. Tak ada.
Dug, dug, dug, kudengar matahari mondarmandir dalam jantungku. Penjual bakmi pergi bersama matahari. Kau dan aku tak peduli, aroma matahari mengepul hangat dari piringmu. Bibir dan rahangmu menari seirama matahari. Aku tibatiba sadar, aku sangat lapar*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar