Selasa, 22 Februari 2011

kepinding

Sekarang waktunya segelas kopi, hitam sehitam bola mata dalam gelap. Aku bukan keluarga primata, tak punya kilat cahaya di mata, bulu mata genit berkedip menggoda kaca.

“Jangan bermain api,” Manusia bijak dalam kaca berkata. Tapi aku manusia laknat, menelan gelap demi gelap dalam mata, sebelum gelap sempurna menelan bayang. Sebelum terbakar, kulahap api di ujung lidahku, tak peduli gelap menyesatkan langkah. Terbakar atau tersesat, pilihan antara neraka atau terikat di ranjang penuh bangsat menggigiti pantat. Rasa gatal itu candu sejati begi kukukuku tajam, haus darah.

“Kau keras kepala,” Manusia bijak dalam kaca belum menyerah, mataku mulai merah, darah menetes dari kuku, serupa kelopak bunga luntur warnanya. Memangnya kenapa, kepalaku nyata, bisa keras, bisa lunak, bayangbayang tak dapat menyentuhnya. Tak perlu berlagak bijak, aku tak akan ragu sedikitpun melenyapkan sosokmu dengan kepala, atau kepalan tangan. Mungkin tak perlu kepala ikut berperang, cukup kepalan tangan kupecahkan segala nasehat.

Prang…! Manusia bijak seketika berantakan, kurasakan hangat mengaliri telapak tangan, tak bisa kulihat merahnya, tapi bau amisnya terasa sangat manis. Dalam gelap pekat, kudengar suara tawa menggema dalam ruang. “Akhirnya kau pulang,” Seekor bangsat menyambutku dengan gigitan paling tajam*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar