Taman makam pahlawan lenggang. Satu dua tiga empat pasang mata, ada yang datang, menjinjing tas besar, mencari tempat teduh di bawah pohon rindang. Dua lelaki, dua perempuan, bajubaju, topi, sepatu, kacamata hitam, kamera. Aku berkata, mereka hendak membuat gambar berlatar belakang makam.
Nisan berani bersumpah mereka tak menabur kembang, atau sekedar berbagi air dengan tanah. Tak memberi, tak mengambil, hanya membuat gambar. Tersenyum, berdiri miring, bercakak pinggang, bersandar di samping pohon dan tiang, mengejek kematian.
Kami tak berkenalan, manusia dan tonggaktonggak terpisah meski samasama bernama, beberapa angka tanda pengenal jatuh di bebatuan, tak terbaca. Mereka nakal, aku kekal, menyimpan gemerisik langkah, bisikbisik dan tawa hinggap di rerumputan. Kakikaki merdeka cepat berganti sepatu, tanah tak sempat mencatat jejaknya.
Kamera tak belajar sejarah, hanya kunjungan empat manusia muda. Para pahlawan tersipu malu memandang manusia muda mematut gaya, menyelipkan sebatang ilalang pada bibirnya.. “Jadi ingat dulu,” daundaun gugur berbisik lirih pada belalang.
Siang belum terbenam pun tak ada hujan, waktu yang tepat untuk mencintai kehidupan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar