Sstt, aku bicara dengan sebungkus permen kosong, selembar kemasan plastik berwarna cerah, diam di atas meja, pasrah menumggu waktunya dicampakkan ke tempat sampah. kutanyakan padanya bagimana rasanya ketika tangan manusia memisahkannya dengan sebongkah butiran manis berkilau yang biasanya dijaganya dengan setia.
Bungkus permen diam saja, tak mau berbagi rasa, sampai aku putus asa, mengancam akan segera membuangnya. Bungkus permen tetap diam. Kudekatkan ke wajah, mungkin tak kudengar jawabnya. Tercium sisa aroma manis dan sejuk dari selembar kecil berbahan plastik. Seakan berkata,”Tak ada yang siasia,” dalam semua bahasa. Aku teringat rasa manis permen, sudah sepenuhnya lumer, tertelan tak bersisa.
“Tak mungkin ada yang peduli padamu.”
“Tempat sampah adalah satusatunya tempat yang pantas untukmu.”
“Lagipula kau terbuat dari jenis bahan yang tak bisa didaur ulang, merusak lingkungan.”
Aku terus menyerang bungkus permen kiss, bertuliskan ‘mimpi indah’ pada salah satu sisi.
Bosan dengan kebisuannya, kucampakkan bungkus permen ke tempat sampah. Kuambil sebungkus permen lagi dari kotak di atas meja, kubuka bungkusnya sembarangan, kumasukkan butir permen ke dalam mulut. Mengulum dengan suara gaduh, sengaja kuejek bungkusnya, kubiarkan tergeletak di atas meja, menggantikan bungkus permen yang sudah kubuang.
Tak lagi kuajak bungkus permen bicara, hanya kudekatkan ke wajah, kuhirup jejak aroma manisnya ketika permen dalam mulutku telah habis tak bersisa. Kuhirup kuatkuat, sebelum kucampakkan ke tempat sampah.
Sebelum tidur, kutulis pada secarik kertas, ajarilah aku diam, sehening bungkus permen, saat sebutir yang manis dalam diriku telah dihabiskannya, bukankah kini aku pantas dicampakkan ke tempat sampah. Jika nanti dia datang dan mendekatkan wajahnya, semoga masih ada jejak manis terhirup nafasnya. Tapi kenapa terasa begitu sesak di rongga dada, bahkan jadi sebungkus permen untuknya saja begitu berat, serasa nyaris tak sanggup. Jadi alasan apalagi yang membuatku percaya : aku masih boleh berharap ada manis bisa kuberi sepenuh hati padanya
Dua lembar bungkus permen di tempat sampah saling menatap, dalam diam. Tapi selembar kertas seperti paham, menulis adalah doa yang tak mampu kukerjakan sambil bersujud, ketika lutut terlalu rapuh menopang tubuh. Meski sama diam dengan segala benda, aku percaya Tuhan sudi membaca*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar