Selasa, 28 Juni 2011

siang di persimpangan

by Dian Aza on Friday, April 15, 2011 at 3:19pm
Membaca malam di dadaku, pintu mengejek langkahlangkah berderap di luar rumah. Aku lupa membawa pulang mesin kasir kata pengemis sambil menggaruk lehernya. Aku lebih gawat, lupa membeli lemari baju, tanpa lemari bajubajuku bisa menggigil kedinginan, maling jemuran sangat resah. Ini sudah malam, jangan berisik, atau aku akan meledak, ke sinilah, di sini ada busur dan beberapa anak panah, untuk membidik gajah, anak zebra tertawa meletakkan garisgaris punggungnya di depan sekolah, besok pagi sepatusepatu kecil akan menyeberang melewati garisgaris hitam putih untuk bermain drama, latihan paduan suara, sambil belajar menghitung volume kepala.

Hitam putih berselang seling warna yang menghubungkan tepi jalan dengan aman. Ramburambu lalu lintas juga butuh menyeberang, mendatangi setiap orang, kepalakepala yang berenang dalam baskom cucian sangat resah berputar, menanyakan tanggal, bulan dan tahun yang akan mencuci mulut. Aku tahu cara menemukan jawaban, jaman baru, jaman baru sungguh lalai tak menyediakan keberanian untuk menghadapi ulatulat berpikiran maju.

Mulai sekarang tak boleh ada yang bertapa, sudah habis keheningan dilahap sepasang tabung kecil dalam remote televisi. Aku terlampau sering menyihir tak hatihati, memindahkan dunia dengan seenaknya hanya dengan satu jari. Kupukupu tak enak hati, meninggalkan pesan pada telur-telurnya agar tak menunggu waktu sayap tumbuh hanya untuk menyerbu halaman rumah dan kebun sekolah. Gajah saja dipanah, anakanak zebra dikuliti punggungnya untuk semua yang siasia, tak ada yang lebih manis dari sebuah wajah dungu di persimpangan, cuma empat arah. Masih lebih banyak pilihan jawaban di soalsoal ujian, benar semua, pilihan terakhir meledak megah, benar semua. Ternyata masih siang hari*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar