Rabu, 29 Juni 2011

langsir

by Dian Aza on Thursday, June 2, 2011 at 1:15am
Memang aku sembunyi dari pagi, menekuk lutut di bawah tempat tidur. Mungkin memang pengecut, mungkin justru aku takut pagi itu yang pengecut, segan datang kalau aku menghadang. Jadi aku mengalah saja, menyembunyikan diri demi bumi yang membutuhkan pagi. Anak anak harus sekolah, bapa ibu guru harus mengajar, kepala sekolah harus duduk di kantornya. Burung ingin berkicau, ayam jantan berkokok. Bendera berkibar, lampu lampu padam. Masih banyak hal, terlalu banyak untuk dituliskan bahwa pagi itu sudah seharusnya datang menyalakan terang di udara. Kalau udara bisa bicara tentu akan mendukung penuh pendapat setiap benda dan mahluk tentang betapa perlunya kehadiran sebuah pagi. Jika tak ada pagi, bisa bisa absensi di pabrik pabrik tak terisi, buruh buruh tak kerja, tak dapat gaji, tak bisa makan nasi, tak ada hasil produksi.  Kuharap ini cukup menjadi alasan untuk seluruh dunia mengerti kenapa seorang perempuan malam mesti merelakan diri sembunyi dari pagi.

Aku tidak takut, suara itu berkata jernih, aku mengangkat sedikit kepalaku, berharap suara itu terdengar lagi, aku ingin tahu siapa yang berkata, aku, perempuan di bawah tempat tidur atau pagi itu sendiri. Pokoknya aku tidak takut, suara itu berbunyi lagi, sedikit lebih hebat dari bunyi bunyi lain yang biasa kudengar, lebih hebat karena tak bisa kutebak dari mana bunyi itu berasal. Sesuatu yang datang tanpa diduga dan tak diketahui dari mana selalu berkesan lebih. Seperti warna merah pada darah, di bagian mana tepatnya di dalam tubuh warna merah itu pertama menyembur, aku tak tahu. Air mata kenapa jernih, tak pernah bisa kumengerti apa saja yang berdiam dan bergerak di dalam tubuhku sendiri. Namanya misteri kata seorang temanku yang suka berkhayal tentang monster besar aneka warna. Itu kebesaran ilahi kata teman lain yang gemar membaca kitab suci. Aku sendiri cuma bisa menggelengkan kepala jika ditanya mana yang benar. Pokoknya aku tidak takut terus berbunyi.

Pagi itu memang harus datang, mengakhiri malam. Tak ada yang betah terus menerus berada dalam gelap, lagi pula tagihan listrik sangat mahal. Pohon dan semak semak juga perlu cahaya untuk memasak makanan, menumbuhkan bunga, menghasilkan buah. Tak ada perusahaan listrik yang sanggup memberikan cahaya pengganti sinar matahari pagi bagi tanaman. Pantas saja nenek moyangku dulu menyembah pohon, sikap bijak memilih cahaya dari pohon dan semak semak tak pernah bisa dicontoh manusia hingga hari ini, tidak juga manusia yang disebut paling bijak oleh sesamanya.

Perempuan malam masih meragukan siapa yang berkata, aku tidak takut sambil terus sembunyi menekuk lutut di bawah tempat tidur. Pagi mesti datang dengan atau tanpa ditunggu. Aku tidak takut bisa jadi suara semut semut yang berbaris mendekati tetesan anggur di lantai kamar, merah ungu warnanya terlihat hitam ketika terpandang di ujung malam tanpa sinar lampu. Semut semut kecil dan hitam sekujur tubuhnya, barisannya meliuk panjang, jika tanpa cahaya akan nampak tak ada bedanya barisan semut atau sehelai rambut yang terjatuh dari kepala perempuan yang tertidur sambil memeluk lutut*   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar