by Dian Aza on Monday, June 13, 2011 at 11:28pm
Cerita seribu satu malam tak pernah tamat terbaca, atau aku salah mendengar suara gaduh dinding putih tak berhenti mengguggat sekawanan serangga hitam kemerahan yang berjatuhan di atas buku tanpa bilangan penanda halaman.
Siapa suruh melubangi bongkah bongkah kayu dengan gigimu, mengunyah serpihan kayu, kalau punya lidah tidakkah rasanya sesepah serbuk gergaji yang melekat pada lengan pemahat paling bebal. Siapa menyarankan bertapa selama semusim penuh hanya demi terbang tak genap semalam menghampiri cahaya yang hanya tahu membakar sayap sayap rapuhmu.
Tapi dinding dinding tak berucap pun sepatah kata, laron laron tak mendengar andaipun bertelinga. Lagipula musim penghujan sudah lewat. Lampu terang sendirian menatap angkuh dari atap rumahku, mungkin diam, atau mencela. Cerita seribu satu malam belum selesai menunggu penggali kubur merampungkan sebuah lubang di sepetak tanah merah hitam sebelum menutup mata.
Kudengar lagi dinding dinding putih bersuara gaduh, kali ini tertuju kepada manusia sepertiku, hanya kematian kehilangan bayang bayang*
Siapa suruh melubangi bongkah bongkah kayu dengan gigimu, mengunyah serpihan kayu, kalau punya lidah tidakkah rasanya sesepah serbuk gergaji yang melekat pada lengan pemahat paling bebal. Siapa menyarankan bertapa selama semusim penuh hanya demi terbang tak genap semalam menghampiri cahaya yang hanya tahu membakar sayap sayap rapuhmu.
Tapi dinding dinding tak berucap pun sepatah kata, laron laron tak mendengar andaipun bertelinga. Lagipula musim penghujan sudah lewat. Lampu terang sendirian menatap angkuh dari atap rumahku, mungkin diam, atau mencela. Cerita seribu satu malam belum selesai menunggu penggali kubur merampungkan sebuah lubang di sepetak tanah merah hitam sebelum menutup mata.
Kudengar lagi dinding dinding putih bersuara gaduh, kali ini tertuju kepada manusia sepertiku, hanya kematian kehilangan bayang bayang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar