Rabu, 29 Juni 2011

bunga bakung

by Dian Aza on Sunday, June 19, 2011 at 2:05am
Di bawah hujan penghabisan kaki telanjang berlarian, menginjak debu yang kalah perang, berguguran bersama pakaian basah. Ini memang juni yang baik hati, yang menyerahkan diri pada puisi. Polisi tidur tidak terbangun untuk mengejar pencuri jemuran, burung burung bersiul kedinginan berkhayal merayakan tahun baru china di kutub utara.

Merdeka, merdeka, kata kata bergema di seluruh penjuru kota terlarang. Lelaki berbaju perempuan di tepi kolam menyanggul rambut seorang malaikat, “Bu, ini model kesukaan Tuhan.” Iblis segera menyesal belum sempat mendaftarkan tanduknya di dirjen hak milik intelektual.

Kriing, bel berdering nyaring, waktu menjenguk sudah habis, perempuan itu melangkah keluar dari surga, diiringi bunyi sangkakala. Seorang malaikat bertanduk mengejarnya, menggamit lengannya sambil berbisik, “Kau salah, lelaki itu yang mesti kembali ke bumi.”

Juni, juni, bapak memanggil namaku dari jauh, ini sudah jam satu, waktunya tidur siang. Tapi aku masih menunggu hujan mengembalikan pakaianku. Satu satunya warisan ibu yang diberikan sebelum lahar menjadi sungai, ikan ikan bermain barongsai.

Di kota terlarang dilarang melarang siapa siapa, Tuhankah yang bicara. Juni menanti Juli jam enam pagi ditemani sehelai tirai, putih berenda selalu melambai mendekati kepala, seperti ingin menghibur atau membesarkan dada.

Kalau punya lutut, ular juga ingin bersimpuh, kata ibu sambil menyetrika kostum anak gembala. Juni tertegun melihat anak laki laki berpakaian gembala menerbangkan merpati putih, selembar surat tergulung dalam tabung kecil tersemat pada kaki burung merpati tertera tulisan cakar ayam, ya tuhan berikanlah padang rumput berbunga bakung, biar kupetikkan satu bunga untuk ibu, satu bunga untuk bulan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar