by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 2:31am
Di mana aku belajar menumbuhkan rindu. Tak kukenal aroma lain, kecuali udara kental senyumanmu, atau bayang bayang yang memahat tubuh dalam rongga kepala. Ruang hampa tersebar di setiap celah, tanpa salah, tak memilah mana candu yang membunuh atau memanjangkan usia. Aku penguasa waktu, katamu.
Aku percaya. Kulihat bunga warna warni tumbuh dari sepetak tanah merah. Juga angin yang selalu ingin memindah memindahkan awan tanpa sebab. Atau kau mau menceritakan ikan ikan di palung terdalam menyalakan lentera di ujung belalainya, kulihat di layar kaca. Aku tahu semua arah dan sudut bersinar, kaubilang.
Kulipat sayap dari kertas, sungguh sungguh terbang, menukik dari tangan kuangkat tinggi, mendarat di dekat kaki. Tak ada pembatas di udara, alangkah jenaka, kucingku tiba tiba menyembulkan kepada dari luar jendela, melangkah pulang waktu tengah malam, matanya berseri, tubuhnya hitam putih, lembut dan hangat melingkar di dekat lengan, seperti tersipu malu ketika kutanya, mana pacarmu. Aku kekasihmu, kaubisikkan.
Seekor cicak gemuk di samping lampu menatapku, menggerakkan kepala, kaulihat apa dari atap kamarku. Pundakku bergetar tanpa suara, mata cicak kian dalam memandang, membaca gerak bibirku, kerut keningku. Aku sedang tertawa, kuberitahukan pada seekor cicak di dekat lampu, udara malam di luar pasti jernih, lebih manis dari setengah gelas teh di atas meja, banyak semut berenang di dalamnya. Aku tak bisa tenggelam. kaupercaya.
Oh, aku tergelak, telah salah duga, alangkah jenaka, cicak di atap kamar membelalakkan mata ke arah semut semut berenang dalam setengah gelas teh di atas meja. Kucingku merapat, dengkurnya gemuruh. Dengan telapak tangan kurasakan mimpinya menyelam ke dasar samudra, mengejar pendar lentera paling terang berayun riang di ujung belalai ikan. Aku tak akan padam, kaunyalakan*
Aku percaya. Kulihat bunga warna warni tumbuh dari sepetak tanah merah. Juga angin yang selalu ingin memindah memindahkan awan tanpa sebab. Atau kau mau menceritakan ikan ikan di palung terdalam menyalakan lentera di ujung belalainya, kulihat di layar kaca. Aku tahu semua arah dan sudut bersinar, kaubilang.
Kulipat sayap dari kertas, sungguh sungguh terbang, menukik dari tangan kuangkat tinggi, mendarat di dekat kaki. Tak ada pembatas di udara, alangkah jenaka, kucingku tiba tiba menyembulkan kepada dari luar jendela, melangkah pulang waktu tengah malam, matanya berseri, tubuhnya hitam putih, lembut dan hangat melingkar di dekat lengan, seperti tersipu malu ketika kutanya, mana pacarmu. Aku kekasihmu, kaubisikkan.
Seekor cicak gemuk di samping lampu menatapku, menggerakkan kepala, kaulihat apa dari atap kamarku. Pundakku bergetar tanpa suara, mata cicak kian dalam memandang, membaca gerak bibirku, kerut keningku. Aku sedang tertawa, kuberitahukan pada seekor cicak di dekat lampu, udara malam di luar pasti jernih, lebih manis dari setengah gelas teh di atas meja, banyak semut berenang di dalamnya. Aku tak bisa tenggelam. kaupercaya.
Oh, aku tergelak, telah salah duga, alangkah jenaka, cicak di atap kamar membelalakkan mata ke arah semut semut berenang dalam setengah gelas teh di atas meja. Kucingku merapat, dengkurnya gemuruh. Dengan telapak tangan kurasakan mimpinya menyelam ke dasar samudra, mengejar pendar lentera paling terang berayun riang di ujung belalai ikan. Aku tak akan padam, kaunyalakan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar