by Dian Aza on Tuesday, May 24, 2011 at 11:06pm
Air mata buaya, kata ayah. Aku meringkuk di sudut mata, menjadi sangat gentar pada hewan liar melata yang merayap mendekati bibirku. Tangan tangan kecil mengeringkan semua yang basah di wajah juga tanah. Bibirku komat kamit seperti berdoa, meminta air bah segera datang, agar buaya buaya cepat naik ke geladak kapal, berlayar, agar aku bisa kembali menyelam ke dasar samudra tanpa takut ada ekor besar berduri mengelus kepala. Kulihat seekor ikan duyung sedang mencari sisir di jejak pasir.
Mengurai rambut sebelum tidur, kata ibu, tak mengikat mimpi buruk. Air mata buaya memerah, pertanda bahagia menjelang di ujung dermaga, semoga. Sebelum laut kembali pasang, harus sudah kutemukan sisir ibu, pantai sudah sangat panjang dan kusut bergantungan di tiang lampu. Buaya tak berair matanya ketika ayah menguliti tubuhnya. Duri duri ekornya dipasang pada laras senapan untuk membidik jantung burung dara.
Pasar ikan berteriak riuh pagi itu, buaya dan burung dara telah menjala banyak manusia*
Mengurai rambut sebelum tidur, kata ibu, tak mengikat mimpi buruk. Air mata buaya memerah, pertanda bahagia menjelang di ujung dermaga, semoga. Sebelum laut kembali pasang, harus sudah kutemukan sisir ibu, pantai sudah sangat panjang dan kusut bergantungan di tiang lampu. Buaya tak berair matanya ketika ayah menguliti tubuhnya. Duri duri ekornya dipasang pada laras senapan untuk membidik jantung burung dara.
Pasar ikan berteriak riuh pagi itu, buaya dan burung dara telah menjala banyak manusia*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar