Selasa, 28 Juni 2011

lapar

by Dian Aza on Saturday, May 14, 2011 at 11:38pm
Kalau lapar sebaiknya makan, tak ada yang lebih haram dibanding kematian. Tapi tak ada yang tahu dibagian mana laparku bersarang. Mungkin hanya laparku yang liar, tak terkurung dalam rongga perut, tak puas dengan rasa kenyang. Laparku menjalar serupa lahar, tumpah dan meledakledak dari puncak kepala mengalir ke lantai, mengalir ke luar rumah, menyusuri jalanan, sempat singgah di pasar pagi maupun malam di semua hari dalam penanggalan matahari dan bulan.

Lapar macam apa, binatang buaskah, belantarakah, atau savana di mana angin bertiup ke segala arah mengacaukan cuaca. Harus kenyang baru bisa berpikir tenang.  Harus makan baru bisa kenyang. Harus lapar baru boleh makan. Seperti parade dengan kepala menghadap ke belakang. Tak bisa kubayangkan siapa ingin menyaksikan barisan manusia berkepala salah hadap. Kota apa namanya yang begitu menyukai anomali. Kota yang tak tahu diri.

Omong kosong saja, lapar cuma akalakalan untuk mengejar nikmat, memutar kepala seratus delapan puluh derajat tanpa jengah, untuk mencoba menjadi hantu bebas menimpukkan batu.

Jangan begitu, burung kakak tua di jendela masih sangat muda, cuma sebutannya terkesan sangat uzur, menyampaikan pesan di sana ada kebijakan, seperti nenek bergigi dua yang tak pernah lapar, selalu sabar belajar aljabar. Lapar semakin nanar menatap persamaan persamaan, sabar sabar, buka mulut lebarlebar, telan setiap getar. Lapar lamalama belajar menelan kenyang, menjadi tenang, dibuang sayang*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar