Rabu, 29 Juni 2011

norma sudah sepakat

by Dian Aza on Saturday, June 18, 2011 at 11:40pm
Akulah bulan congkak yang ditelan bayang bayang dunia, Norma memandang kedua bola matanya sendiri yang terpantul di kedua lensa mata Surya. Dua manusia sedang berbaring di keteduhan, di bawah bayang-bayang daun nyiur.  Pantai sungguh sepi, dunia seolah milik mereka berdua.

“Dunia milik kita,” bisik Surya, dari mulutnya semerbak bau campuran rempah dan tembakau dari sigaret kualitas terbaik, masih pula bercampur aroma anggur. Hangat pasir pantai meresap dari punggung, lengan dan pinggul dua manusia, meresap ke dalam nadi, aliran darah mengantar rasa hangat ke dalam dada, naik ke leher, dagu dan bibir. Lelaki pemilik dunia sekali lagi memagut bibir perempuan rembulan. Lebih hangat terasa di puncak kepala mereka ketika angin seolah tersentak, tiupannya menyibakkan sekilas batang dan daun nyiur yang jadi penghalang sinar mentari membelai rambut sepasang manusia.

“Aku tak ingin dunia,” perempuan bernama Norma mengatakannya dengan suara lembut namun cepat. Begitu cepat, tak ingin angin keburu berhembus kembali, mungkin angin bisa menerbangkan kalimatnya, begitu pikirnya. Norma belajar dari pengalaman bahwa sebuah kalimat penting mesti segera diucapkan sebelum lenyap terhapus entah.

“Oh ya…” Surya menarik tubuhnya sedikit menjauh agar dapat melihat wajah perempuan di dekatnya lebih jelas. “Yakin ?” Mata Surya bercahaya, baru kali ini ada yang bilang tak ingin dunia. Mungkin dia tak tahu dunia yang sebenarnya, seluas apa, setinggi apa, seindah apa, seterang apa. Tak tahu memang sebab pertama tak ingin, kalau dia juga tak ingin tahu apa yang tak diketahui menjadi tak butuh. Menarik sekali, kebalikan dari dirinya sendiri, tahu, menjadi ingin, menjadi butuh, mungkin kelak menjadi candu.

“Tidak.” Norma berkata singkat, melengos wajahnya.

“Sombong kali kau…”

“Biar !”

“Tak ingin dunia, ck, ck, ck.”

“Kenapa ?”

“Tak apa.”

“Tak apa kalau kukatakan sudah kutengok tasmu, isinya bukan laptop dan kertas kerja.”

Surya terperangah, seketika menegakkan tubuhnya, duduk di atas pasir menatap mata Norma, lurus dan tajam. “Lancang. Beraninya kau. Tak ingat dulu apa yang kukatakan akan kubuat kalau kau berani menyentuh barang barangku, anjing.”

“Hmm, aku juga tahu apa isi kopermu.” Norma membalas pandangan Surya dengan sorot mata mirip ombak yang menyeret segenap rasa di sekujur tubuh Surya, dia merasa tersedak dan mulai terbenam amarah.

Surya bangkit berdiri, menarik lengan Norma dengan kasar sekuat tenaga. Mereka berdua sudah berdiri, Surya terus menarik lengan Norma mengikuti arah langkahnya. Lengan itu terasa begitu kecil dan ringan dan pasrah, Surya seakan akan terhuyung sendiri ke depan. Tanpa menolak atau meronta Norma mengikuti ke mana langkah Surya menarik lengan dan tubuhnya. Sebentar saja sepasang manusia itu sudah tiba di ruang tamu pondok peristirahatan di mana mereka menginap, rencananya tiga malam. Baru semalam tadi mereka tiba, melewati dini hari dan pagi penuh bahagia.

Pintu pondok sengaja dibiarkan terbuka, setelah berada di dalam ruangan, tubuh perempuan dihempaskan keras ke atas sofa. Surya berbalik untuk menutup pintu, menguncinya, mencabut anak kunci dari lubangnya lalu memasukkan anak kunci ke saku belakang celana jeansnya. Norma masih dalam posisi semula, terhempas, duduk miring di atas sofa. Surya mendekat, suaranya bergetar ketika berkata,”Kenapa kau lancang, apa kau tak tahu akibatnya. Kau…”

“Tak usah teriak, aku tahu…”

“Perempuan brengsek, apa yang kautahu, enam tahun, enam tahun aku kenal dan percaya kau. Tak kupedulikan apa kata orang, tak kupedulikan diriku sendiri, cuma ini yang bisa kaukerjakan, kenapa, kenapaaa…”

“Aku tak ingin dunia.”

Prang! Jambangan kaca pecah berserakan di lantai, dua tangkai kembang plastik terjatuh, tergeletak di dekat kaki meja. Perempuan itu memar pipinya, matanya merah, pelipisnya membengkak berdenyut panas, tapi tatapannya meredup. Tubuhnya semakin miring bersandar pada sofa setelah sempat terjerembab keras.

Lelaki itu merasa seluruh dunianya runtuh, ambruk tak berbentuk. Kenapa tangannya terasa begitu sakit, atau bukan tangannya yang sakit, lantas apanya, mungkin perutnya, mungkin dadanya, lehernya atau kepalanya. Seingatnya baru kali ini Surya sangat marah sampai tak tahu harus melakukan apa. Tak ada yang sepintar Surya, tak ada yang sekuat Surya, tak ada yang setangguh Surya, tak ada yang secekatan Surya. Dunia milik Surya, nasib manusia ada di tangannya, dan sekarang lelaki itu merasa hampir sia sia, apa hanya karena seorang perempuan bodoh dan tak berharga telah berkata tak ingin dunia. Belum pernah Surya bertemu manusia yang begitu ringan dan jelas menyatakan apa yang tak diinginkannya, dunia, dan sepertinya perempuan itu sama seperti dirinya, tahu pasti apa inginnya, tak ingin dunia.

Seandainya Norma punya nyali ketika berhadapan dengan Surya, seperti saat Norma menghadapi empat lelaki lain yang bukan Surya, yang mulanya membujuk, merayu, menawarkan sampai akhirnya putus asa kemudian membentak dan mengancam. Surya beserta dunia milik lelaki itu yang jadi taruhannya. Satu satunya lelaki yang pernah membuat perempuan semacam Norma merasa pantas memiliki seluruh dunia. Hanya di hadapan Surya perempuan itu kehilangan dirinya, tersesat. Sejak berjumpa lelaki itu, seperti namanya serupa matahari baginya, pusat kehidupannya, tak mungkin dia bisa mengingkari dirinya sendiri, tanpa sinar matahari tak ada kehidupan, hanya gelap, padam, dan hampa. Norma punya firasat bahwa keempat lelaki yang bukan Surya kelak akan menguburkan jasadnya. Nalurinya juga tak seperti biasa, kali ini melarangnya menceritakan firasatnya kepada Surya. Tak apa, gelap, padam dan hampa harus ada dan ditelan perempuan bulan di siang hari, dunia milik matahari.

Tak ada suara teriakan, tak ada kesulitan sama sekali bagi lelaki sekuat Surya membereskan perempuan lemah macam dia. Norma, perempuan bodoh yang berani tak percaya padanya dan tak layak dipercaya sedikitpun. Surya tahu, dia masih yang terbaik seperti yang dikenal dunianya, dunia yang disimpannya di dalam tas kerja dan kopernya. Dunia yang tak diinginkan Norma. Sebenarnya bukan bagian dari dunia yang itu yang ditawarkannya pada Norma, perempuan itu salah sangka. Surya justru ingin memisahkan apa saja yang berada dalam tas kerja dan kopernya dari Norma, seandainya perempuan itu bisa lebih paham dan mengerti. Apa yang mungkin diinginkan perempuan macam itu. Kalau tak ingin, kenapa ingin tahu isi tas kerja dan kopernya. Apa ada yang menyuruh perempuan itu agar tak percaya padanya, memeriksa tas kerja dan kopernya, memikirkan tentang itu jantungnya berpacu lebih kencang, Surya merasa dadanya bisa meledak.

Segelas kopi sudah diseduh, membuat Surya sedikit lebih tenang. Duduk di ruang tamu di sofa persis di mana tubuh Norma tadi berada, sebelum diangkatnya, dipindahkan ke atas tempat tidur. Setidaknya tempat tidur lebih aman dari ruang tamu. Dan perempuan itu terlihat seperti sedang tertidur pulas, lubang di kepalanya nyaris tak nampak tertutup rambut, bercak darah sudah dibersihkan oleh Surya, entah kenapa tak banyak darah. Mata perempuan itu terpejam rapat, betul betul seperti tidur.

Surya memutuskan akan menelepon bosnya sebentar lagi, setelah dadanya lebih lapang dan matanya lebih sejuk, tak ada yang boleh melihat atau mendengarnya dalam keadaan gugup. Bosnya seorang lelaki setengah tua berpangkat letnan jendral, pasti senang bukan kepalang jika mendengar Surya akhirnya membereskan masalahnya dengan seorang perempuan. Bosnya selalu khawatir tentang Norma yang kata bosnya bisa membahayakan mereka semua. Berapa kalipun Surya meyakinkan bosnya bahwa Norma sama bodoh dan tak tahu apa apanya dengan puluhan perempuan lain yang pernah dikencaninya, bosnya tak bergeming, tetap yakin, tak berhenti pula berusaha meyakinkan Surya bahwa ada kemungkinan Norma tidak sesederhana nampaknya, terlalu rumit malah. Bosnya tak percaya Norma tak tahu siapa Surya sebenarnya, apa pekerjaannya, apa isi tas kerja dan kopernya yang tak lazim meski Surya terus menerus meyakinkan bosnya, bapak letnan jendral itu selalu berubah sangat gusar setiap kali tahu Surya baru bertemu dan menghabiskan waktu bersama Norma di tempat tempat rahasia yang dipercayakan bos padanya, salah satunya pondok peristirahatan ini, letaknya tersembunyi di sebuah teluk indah yang teramat lengang.

Tak ada yang sehebat Surya di mata bosnya, orang orang menyebut Surya sebagai tangan kanan, dan Surya menyukai kedudukan dan pekerjaannya maka secara spontan berjanjilah ia pada bosnya akan segera membereskan semua orang, siapa saja termasuk Norma yang melakukan tindakan sekecil apapun yang mungkin bisa berakibat buruk bagi dirinya dan pekerjaannya. Surya baru saja menepati janjinya.

Sebatang sigaret kualitas terbaik baru saja disulut, Surya meletakkan zipponya di samping telepon genggam. Seperti yang diduganya bos sangat bersemangat mendengar kabar Norma sudah sepakat. Sudah sepakat artinya sudah tak ada masalah apapun, tak ada masalah selamanya. Itu kalimat kebanggan Surya, bosnya tertawa lebar waktu pertama kali Surya selesai membereskan seseorang yang menjadi penghalang atau ancaman lalu mengatakan, tak ada lagi masalah, yang bersangkutan sudah sepakat. Yang bersangkutan sudah tak akan menghalangi langkah dan tak akan pernah berbeda pendapat, betapa baiknya saat tahu pasti semua manusia sudah sepakat selamanya. Bos berjanji akan segera mengirimkan apa saja untuk membantu Surya membereskan hasil kesepakatannya, begitulah yang biasanya terjadi. Bos sangat percaya dan mengandalkan Surya, melindungi dan menjaganya, seperti Norma. Tubuh Surya tiba tiba menegang, lehernya tiba tiba kaku, lidahnya mendadak pahit, asap terasa getir.

Tas kerja juga koper itu masih duduk manis pula di tempatnya, di atas sebuah sofa lain yang terletak di ruang tidur. Surya mengamatinya baik baik setelah membaringkan tubuh Norma di atas tempat tidur. Surya tak pernah meletakkan tas kerjanya di lantai, juga kopernya, selalu di atas sesuatu, tubuh, meja, kursi, bangku, sofa atau setidaknya karpet. Surya membuka tas kerjanya, mengamati isinya secermat cermatnya, terlihat baik dan aman. Kopernya juga masih terkunci, Surya ingat kombinasi angka angka pengamannya tak berubah, dia masih membukannya dengan putaran yang sama ke atas dan kebawah. Isi kopernya terlihat baik dan aman. Kenyataan itu justru membuat Surya merasa kurang baik dan aman.

Dipandangnya perempuan yang seperti sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya, sesaat Surya bergerak seakan hendak menghampiri, melihat dari dekat parasnya yang tenang. Seandainya mata itu tiba tiba terbuka, menatapnya dengan redup. Kenapa tadi perempuan itu memejamkan matanya, perempuan itu selalu tahu apa yang harus dikerjakannya untuk memudahkan segala yang mesti dikerjakan Surya. Perempuan itu tak memberontak sejak Surya menyeretnya dari pantai, tiba di pondok juga tak sekalipun meronta, tak bersuara gaduh, tak menjerit atau menangis, hanya mengucapkan beberapa patah kata, meredupkan mata yang akhirnya dipejamkannya rapat rapat. Surya tak bisa membayangkan seperti apa akhirnya jika yang terjadi tak demikian adanya. Surya juga tidak mengerti kenapa mesti repot repot memindahkan tubuh perempuan yang sebenarnya tidak sedang tidur ke tempat tidur, hati hati meletakkannya kepala perempuan itu di atas bantal seakan akan tak ingin membuatnya terjaga. Selanjutnya seharusnya tinggal menunggu utusan bos datang membantu sambil menikmati sigaret kualitas terbaik kadang kadang ada tambahan sebotol minuman. Tapi siang ini Surya tak ingin berpikir apa yang harus, tak bisa pula, dia hanya ingin tenang, mereka akan mengurus selebihnya.

Kenapa sigaret ini semakin buruk saja rasanya, Surya menghembuskan asap kuat kuat dari hidungnya, seakan akan semua gelisahnya bisa turut terhembus keluar, menggumpal di udara sebentar kemudian lenyap. Dunia macam apa yang dimilikinya, seorang lelaki sedang tak ingin memahami dirinya sendiri. Ini bukan apa apa, hanya sebuah kesepakatan yang telah ditentukan sedang berjalan. Seorang perempuan menelan gelap, padam dan hampa.

Di tepi pantai daun daun nyiur belum lelah melambai, memainkan sinar mentari dan bayangannya sendiri di atas pasir*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar