by Dian Aza on Saturday, April 16, 2011 at 12:19am
Ledakan kita butuhkan untuk melantakkan otak. Otak sejenis adonan dalam sebuah baskom, campuran antara yang asli dan sintetis, yang padat dan hampa. memuai dan menyusut seirama biola. Lalu, lalu apa, radio memilih sendiri lagulagunya untukku, dan aku masih punya sepuluh jari untuk meremas rambut, melekatkan beberapa helai hitam di kuku, untuk mencakar wajah siapa saja yang berani mendekat. Aku jadi suka pada wadah kuno itu, baskom, lucu mengatakannya berulang, baskom, baskom, terdengar seperti paduan suara di tempat sampah. Mengunyah punggung lalat, hitam dan lembab, baunya mungkin amis, rasanya asin atau asam, tergantung permukaan lidah mana lebih dulu meraba.
Sebenarnya tak perlu serepot itu kalau hanya ingin membunuhku. Kita bukan sekutu, apalagi musuh. Hanya kembar siam, salah satunya memilih sembunyi di balik bangku, atau bukubuku, atau sekedar dua jantung dalam satu tubuh. Entah apa sebutan yang layak bagi yang sangat dekat seperti kita. Seperti cekung pada baskom, lubang pada hidung, kerut pada kening, lesung pada pipi, liang pada sarang, lorong pada jalan, seperti sesuatu yang berlebihan menuntut diri sendiri. Jadi jangan tanyakan padaku tentang denyar jantung, sudah lama buyar. Pertunjukan masih setengah jalan.
Aku harus terus merangkai pecahan kaca sampai jadi lukisan indah. Membuat cicak berdecak, mendekat, mengendus, berhasrat minum darah. Cairan merah, kental, dihirup nikmatnya pelanpelan, bukan menelan bulatbulat kapsulkapsul kecil bersayap, berbelalai panjang, berkaki belang. Kita butuh dengungnya terus menghibur telinga. Dua labirin di samping kiri dan kanan, tempat rambut bersandar, tempat kita bertengkar tentang waktu dan letak lubang hitam*
Sebenarnya tak perlu serepot itu kalau hanya ingin membunuhku. Kita bukan sekutu, apalagi musuh. Hanya kembar siam, salah satunya memilih sembunyi di balik bangku, atau bukubuku, atau sekedar dua jantung dalam satu tubuh. Entah apa sebutan yang layak bagi yang sangat dekat seperti kita. Seperti cekung pada baskom, lubang pada hidung, kerut pada kening, lesung pada pipi, liang pada sarang, lorong pada jalan, seperti sesuatu yang berlebihan menuntut diri sendiri. Jadi jangan tanyakan padaku tentang denyar jantung, sudah lama buyar. Pertunjukan masih setengah jalan.
Aku harus terus merangkai pecahan kaca sampai jadi lukisan indah. Membuat cicak berdecak, mendekat, mengendus, berhasrat minum darah. Cairan merah, kental, dihirup nikmatnya pelanpelan, bukan menelan bulatbulat kapsulkapsul kecil bersayap, berbelalai panjang, berkaki belang. Kita butuh dengungnya terus menghibur telinga. Dua labirin di samping kiri dan kanan, tempat rambut bersandar, tempat kita bertengkar tentang waktu dan letak lubang hitam*
komputer = komidi puter
BalasHapus