by Dian Aza on Thursday, June 2, 2011 at 10:28pm
Hei bulan kemarilah, yuk berenang di gelas kopi.
Kalimat itu sudah basi, kau mendesis terlalu dekat telingaku hingga bisa kudengar hembus udara dari hidungmu. Bulan juga basi, kopi juga basi. Jadi kenapa pula risau kalau masih bisa dinikmati. Apa sih yang tidak basi hari ini. Seabad yang lalu bulan dan kopi mungkin juga sudah basi.
Ya, apa sih yang tidak basi hari ini, senang sekali kau mengatakannya sampai berulang kali. Apa sih yang tidak basi hari ini. Semoga nasi di meja makanku belum basi, masih bisa mengisi lambung yang perih tanpa was was terserang disentri. Hahaha…alangkah meriah dunia penuh prasangka. Aku masih punya yang tidak basi hari ini, tapi tak baik kukatakan padamu, bisa menjadi basi.
Bulan, apa tak mendengar ajakanku berenang di gelas kopi. Pasti jadi sangat eksotis kalau bulan, yang bulat putih berenang di hitam pekat kopi. Kenapa selalu puitis, kau bertanya sinis. Puitis itu amis, seperti bau nafasmu di bibirku, bau pasar ikan ketika para nelayan baru merapat. Bongkahan es batu dituangkan dalam wadah wadah, gemeretak bunyinya, bening dan jernih rupanya, dingin dan bengis serasa mengiris kulit jika disentuh. Ikan ikan ditumpahkan, saling bergumul, kelabu, biru kekuningan, perak keemasan bercampur bening dan jernih es batu. Tubuh ikan lembut, bongkah es batu keras dan tajam. Udara berbau amis mengundang kucing kucing liar datang, mondar mandir di antara kaki kaki manusia, menemukan tubuh tubuh ikan yang tercecer, ikan ikan yang meleset menempati wadah. Anak beranak kucing mendapatkan banyak berkah tanpa bekerja, kumis dan bulu kucing jadi berbau amis. Kucing kucing yang berbau amis tubuhnya adalah kucing kucing yang kenyang, baru saja pesta ikan di pasar ikan tanpa mengajak bulan.
Bulan belum datang, mungkin tak mendengar, atau sengaja mengacuhkan. Mungkin bulan takut hitam kopi menodai bulatnya yang putih. Belum puas juga mengucapkan segala yang basi bikin wajah pucat pasi gara gara lambung kian perih. Perut mengajak kaki mendekati nasi. Tangan sudah belajar memegang sendok sejak kecil, menyuapkan nasi ke dalam mulut yang tidak berbau amis. Hanya ada nasi di meja makan. Meja makanku letaknya jauh dari pasar ikan, tak terendus bau amis oleh hidungku, juga hidung kucingku. Kau malah tersenyum, rasakan saja makan nasi tanpa bau amis, tidak puitis. Tapi kalau kau mau mendudukkan aku di pangkuanmu, lalu tanganmu menyuapkan nasi ke dalam mulutku, kau akan tahu betapa manisnya nasi tanpa bau amis. Sehabis nasi, aku bisa jadi mirip kucing, bergulung rapat pada betismu.
Tiba tiba, plung…bulan akhirnya datang memenuhi ajakanku, berenang renang di dalam gelas kopi. Cairan hitam kopi sedikit meruah membasahi meja, hangat dan manis, mungkin bulan yang bicara dari dalam gelas kopi. Bulat putih, timbul tenggelam, mengapung, bersenandung. Tapi suara dengkurmu lebih merdu, kau berbisik terlalu dekat telingaku lagi, bisa kudengar hembus nafasmu menderu lebih kencang dari suara mesin mesin disel di buritan kapal nelayan.
Hampir fajar, aku harus pergi, bulan berkata lirih dari dalam gelas kopi, kelelahan setelah berenang semalaman. Jangan peduli, bisikmu. Bulan bisa mengurus dirinya sendiri. Apa sih yang tidak basi hari ini, aku sangat ingin mengatakannya untukmu tanpa menjadi basi. Mengajak bulan kembali berenang di dalam gelas kopi sampai matahari menanak nasi besok pagi*
Kalimat itu sudah basi, kau mendesis terlalu dekat telingaku hingga bisa kudengar hembus udara dari hidungmu. Bulan juga basi, kopi juga basi. Jadi kenapa pula risau kalau masih bisa dinikmati. Apa sih yang tidak basi hari ini. Seabad yang lalu bulan dan kopi mungkin juga sudah basi.
Ya, apa sih yang tidak basi hari ini, senang sekali kau mengatakannya sampai berulang kali. Apa sih yang tidak basi hari ini. Semoga nasi di meja makanku belum basi, masih bisa mengisi lambung yang perih tanpa was was terserang disentri. Hahaha…alangkah meriah dunia penuh prasangka. Aku masih punya yang tidak basi hari ini, tapi tak baik kukatakan padamu, bisa menjadi basi.
Bulan, apa tak mendengar ajakanku berenang di gelas kopi. Pasti jadi sangat eksotis kalau bulan, yang bulat putih berenang di hitam pekat kopi. Kenapa selalu puitis, kau bertanya sinis. Puitis itu amis, seperti bau nafasmu di bibirku, bau pasar ikan ketika para nelayan baru merapat. Bongkahan es batu dituangkan dalam wadah wadah, gemeretak bunyinya, bening dan jernih rupanya, dingin dan bengis serasa mengiris kulit jika disentuh. Ikan ikan ditumpahkan, saling bergumul, kelabu, biru kekuningan, perak keemasan bercampur bening dan jernih es batu. Tubuh ikan lembut, bongkah es batu keras dan tajam. Udara berbau amis mengundang kucing kucing liar datang, mondar mandir di antara kaki kaki manusia, menemukan tubuh tubuh ikan yang tercecer, ikan ikan yang meleset menempati wadah. Anak beranak kucing mendapatkan banyak berkah tanpa bekerja, kumis dan bulu kucing jadi berbau amis. Kucing kucing yang berbau amis tubuhnya adalah kucing kucing yang kenyang, baru saja pesta ikan di pasar ikan tanpa mengajak bulan.
Bulan belum datang, mungkin tak mendengar, atau sengaja mengacuhkan. Mungkin bulan takut hitam kopi menodai bulatnya yang putih. Belum puas juga mengucapkan segala yang basi bikin wajah pucat pasi gara gara lambung kian perih. Perut mengajak kaki mendekati nasi. Tangan sudah belajar memegang sendok sejak kecil, menyuapkan nasi ke dalam mulut yang tidak berbau amis. Hanya ada nasi di meja makan. Meja makanku letaknya jauh dari pasar ikan, tak terendus bau amis oleh hidungku, juga hidung kucingku. Kau malah tersenyum, rasakan saja makan nasi tanpa bau amis, tidak puitis. Tapi kalau kau mau mendudukkan aku di pangkuanmu, lalu tanganmu menyuapkan nasi ke dalam mulutku, kau akan tahu betapa manisnya nasi tanpa bau amis. Sehabis nasi, aku bisa jadi mirip kucing, bergulung rapat pada betismu.
Tiba tiba, plung…bulan akhirnya datang memenuhi ajakanku, berenang renang di dalam gelas kopi. Cairan hitam kopi sedikit meruah membasahi meja, hangat dan manis, mungkin bulan yang bicara dari dalam gelas kopi. Bulat putih, timbul tenggelam, mengapung, bersenandung. Tapi suara dengkurmu lebih merdu, kau berbisik terlalu dekat telingaku lagi, bisa kudengar hembus nafasmu menderu lebih kencang dari suara mesin mesin disel di buritan kapal nelayan.
Hampir fajar, aku harus pergi, bulan berkata lirih dari dalam gelas kopi, kelelahan setelah berenang semalaman. Jangan peduli, bisikmu. Bulan bisa mengurus dirinya sendiri. Apa sih yang tidak basi hari ini, aku sangat ingin mengatakannya untukmu tanpa menjadi basi. Mengajak bulan kembali berenang di dalam gelas kopi sampai matahari menanak nasi besok pagi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar