by Dian Aza on Wednesday, June 8, 2011 at 1:57am
Keperawan adalah bukti kecerobohan tuhan. Seharusnya kaum perempuan memikirkan dan merenungkan itu sungguh sungguh. Kalau ada sesuatu yang paling rawan dalam hidup perempuan mungkin itu adalah keperawanan. Betapa banyak malapetaka dan kekacauan yang bisa ditimbulkan dari satu akar masalah, keperawanan. Atau selaput dara namanya, dari namanya saja sudah seperti menyembunyikan makna yang susah dijabarkan akal sehat. Dan tuhan telah dengan ceroboh meletakkan benda seabsurd itu di dalam tubuh perempuan.
Entah apa ini istilah kedokteran, sains, biologi atau antropologi atau sosiologi, bahkan jika penggunaan kata keterangan di belakang istilah itu tidak tepat, tetap saja kesalahanku tak sebesar kecerobohan tuhan yang meletakkan sesuatu yang begitu tidak wajar pada alat vital perempuan. JIka alat itu vital maka seharusnya dijauhkan dari segala macam hal yang ganjil dan abstrak, seharusnya dijadikan bersih dan aman dari segala hal yang mudah menimbulkan masalah. Sungguh tidak layak seseorang searif tuhan menaruh selaput dara pada alat vital perempuan.
Tuhan mungkin tak pernah salah. Salah tentu tak sama artinya dengan ceroboh. Salah adalah salah, tak ada pergeseran makna sedikitpun, sedangkan ceroboh bisa berarti lalai, tak cermat. Semua penyebab yang hadir tanpa sengaja membelokkan arah, maksud dan tujuan. Seperti sesuatu yang tak mudah dicerna pikiran atau logika. Kalau seorang perempuan menggunakan otaknya sepenuh kapasitas kerja otak manusia tentu sejak pertama mendengar istilah selaput dara, mengetahui definisi selaput dara, telah terbersit tanya, apa kiranya maksud dan tujuan tuhan menciptakan benda tersebut pada tubuh perempuan.
Sebenarnya tidak hanya perempuan berpendidikan pantas mempertanyakannya, tapi semua perempuan yang sadar benar bahwa dia perempuan dan mulai memahami dirinya, setiap bagian pada dirinya. Khususnya yang begitu unik dan aneh. Yang secara eksklusif hanya ada pada perempuan, siapakah yang tahu pasti ada jenis hewan berkelamin betina juga mempunyai selaput dara pada alat vitalnya. Ini sudah kelewatan, tak baik dilanjutkan, atau aku berani menghadapi resiko setara hukum rajam jika terus menghujat tuhan gara gara selaput dara, meski hanya dalam batok kepalaku saja.
Aku tersenyum sendiri membaca tulisan gila yang kutuliskan asal asalan, duapuluh tahun silam, kutuliskan ketika pertama kali kudengar desas desus gila itu. Entah setan mana yang membisikkannya pada perempuan perempuan lain yang kemudian membisikkannya kepadaku dangan mata bersinar lebih terang dibanding sorot lampu mercu suar kala purnama, suara mereka lebih gaduh dibanding teriakan teriakan kasar para makelar di pasar, “Suamimu baru saja membeli perawan.” Aku hanya bisa menanggapinya dengan tergagap, mulutku megap megap tanpa suara, serupa ikan kehabisan udara di geladak kapal. Perempuan perempuan itu semakin nyala matanya,”Tanya saja bu Dewi, dia tahu sendiri dari seorang kenalan yang temannya punya saudara angkat, kakaknya punya anak perawan, mereka butuh uang untuk biaya operasi kanker prostat ayahnya, kakak saudara angkat temannya kenalan bu Dewi itu.”
Lebih menakjubkan dari semua kenyataan yang terjadi saat itu, aku tidak pingsan di tengah perempuian perempuan yang matanya telah menjelma obor besar teracung dihadapanku, seakan siap membakarku hidup hidup. Tak bisa kuingat jelas kejadian setelah itu, bagaimana aku pulang, naik taxi atau mobilku sendiri. Tahu tahu aku sudah tiba di rumah, berjalan melintasi ruang tamu, melewati begitu saja kedua anak balitaku yang sedang makan malam disuapi pengasuhnya masing masing.
Di dalam kamar yang sengaja kugelapkan dapat kulihat dengan jelas wajah seorang gadis yang gamang sekali tatapan matanya. Mungkin gadis itu aku, atau gadis antah berantah yang baru menjual keperawanan, gadis pemilik selaput dara yang ayahnya mengidap kanker prostat yang dibicarakan perempuan perempuan di dekat telingaku dua jam yang lalu. Aku masih terjaga dengan tubuh tegang ketika suamiku datang, mengganti bajunya tanpa menyalakan lampu lalu rebah di sampingku. Sepertinya aku tertidur, bermimpi buruk dan bagus bergantian bersamaan dengan gelisah tubuhku, berkali kali merubah posisi tidur. Sungguh membingungkan bagaimana seseorang yang tertidur dan bermimpi bisa mengingat berapa kali membalik badan. Hingga malam berlalu aku tak terjaga.
Kurang lebih satu setengah jam yang lalu suara alarm membangunkan tidur panjangku, refleks tanganku bergerak ke samping, menyentuh pundak suamiku yang masih tidur lelap. Betapa lega dan damai rasanya, setelah sholat subuh. Seperti kebiasaanku, aku pindah ke ruang baca di samping kamar tidur, menghidupkan komputer, membaca dan menuliskan apa saja yang bisa kubaca dan kutulis hingga waktunya menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Aku dan suamiku hanya tinggal berdua di sebuah apartemen, di sebuah negara, malah benua yang terletak beribu mil jauhnya dari tempat perempuan perempuan yang dua puluh tahun silam membuatku nyaris hangus terbakar api neraka.
Udara sejuk dan keheningan dalam ruang baca membuatku bisa mengingat semuanya dengan baik sekarang, sangat baik dan tenang. Lima hari berselang kiriman itu sampai di tanganku. Lewat telepon sambungan langsung internasional kuminta seorang pengurus rumahku yang telah sejak lama kupercaya dan terbukti bisa diandalkan membereskan semua benda yang nampak penting dan berharga di rumah lamaku, buku buku, setumpuk compact disc, dan segenggam flash disc termasuk di dalam paket yang kusambut dengan antusia kedatangannya. Kebetulan ini flash disc ketiga yang kuperiksa dan kucermati tiap file yang tersimpan di dalamnya. Aku tersenyum lebar kembali untuk kesekian kali ketika membaca salah satu file tulisanku, kalimat pertamanya sungguh ngawur, setelah dua puluh tahun berselang aku masih berpendapat demikian.
Kelewatan sekali kutuliskan itu, keperawan adalah bukti kecerobohan tuhan, tapi tuhan bukanlah manusia yang kecerobohannya bisa menyebabkan bencana. Keperawananku misalnya, telah kujual sembarangan demi hasratku melampiaskan amarah kepada ibu yang meninggalkan ayah dan kedua adikku untuk menikah dengan seorang seniman eksentrik dari luar negeri, sama sekali tidak berakhir buruk bagiku. Awalnya memang serasa tak tertanggungkan, seperti terkena radang usus akut yang membuatku ingin muntah sepanjang waktu. Tapi pelahan segalanya membaik. Selaput dara memang berharga dan beruntung sekali tuhan menaruhnya pada alat vitalku, ayahku memperoleh modal untuk membuka usaha, menata kembali hidupnya, aku dan kedua adikku kembali melanjutkan sekolah tanpa hambatan, pendeknya kehidupan keluargaku membaik meski tak ada lagi ibu.
Makin ajaib ketika lelaki yang membeli selaput daraku akhirnya berniat hidup bersamaku, lelaki lajang yang mapan dalam segalanya. Kisahnya seperti mimpi, persis seperti tanah kelahiranku yang sering dipuja sebagai tanah impian, pulau dewata. Masih kuingat pula betapa berita tentang selaput dara seorang gadis lain sempat membuatku terguncang, hampir hancur berantakan. Kenyataanya tak pernah sengeri yang kucemaskan. Waktu berlalu memudarkan noda, mengeringkan air mata, membawaku terbang ke tanah yang jauh, tak buruk juga meski namanya bukan pulau dewata. Kini aku seorang perempuan terpelajar dengan kedudukan dan pekerjaan cukup terpandang. Kedua anakku, perempuan dan lelaki juga telah tumbuh dewasa mendapatkan segala yang terbaik yang bisa diharapkan.
Tuhan memang tak pernah salah, kurasa inilah waktu yang tepat untuk meralat tulisanku. Tuhan sama sekali tidak ceroboh seperti yang kukira dan pernah kutuliskan pada masa lalu*
Entah apa ini istilah kedokteran, sains, biologi atau antropologi atau sosiologi, bahkan jika penggunaan kata keterangan di belakang istilah itu tidak tepat, tetap saja kesalahanku tak sebesar kecerobohan tuhan yang meletakkan sesuatu yang begitu tidak wajar pada alat vital perempuan. JIka alat itu vital maka seharusnya dijauhkan dari segala macam hal yang ganjil dan abstrak, seharusnya dijadikan bersih dan aman dari segala hal yang mudah menimbulkan masalah. Sungguh tidak layak seseorang searif tuhan menaruh selaput dara pada alat vital perempuan.
Tuhan mungkin tak pernah salah. Salah tentu tak sama artinya dengan ceroboh. Salah adalah salah, tak ada pergeseran makna sedikitpun, sedangkan ceroboh bisa berarti lalai, tak cermat. Semua penyebab yang hadir tanpa sengaja membelokkan arah, maksud dan tujuan. Seperti sesuatu yang tak mudah dicerna pikiran atau logika. Kalau seorang perempuan menggunakan otaknya sepenuh kapasitas kerja otak manusia tentu sejak pertama mendengar istilah selaput dara, mengetahui definisi selaput dara, telah terbersit tanya, apa kiranya maksud dan tujuan tuhan menciptakan benda tersebut pada tubuh perempuan.
Sebenarnya tidak hanya perempuan berpendidikan pantas mempertanyakannya, tapi semua perempuan yang sadar benar bahwa dia perempuan dan mulai memahami dirinya, setiap bagian pada dirinya. Khususnya yang begitu unik dan aneh. Yang secara eksklusif hanya ada pada perempuan, siapakah yang tahu pasti ada jenis hewan berkelamin betina juga mempunyai selaput dara pada alat vitalnya. Ini sudah kelewatan, tak baik dilanjutkan, atau aku berani menghadapi resiko setara hukum rajam jika terus menghujat tuhan gara gara selaput dara, meski hanya dalam batok kepalaku saja.
Aku tersenyum sendiri membaca tulisan gila yang kutuliskan asal asalan, duapuluh tahun silam, kutuliskan ketika pertama kali kudengar desas desus gila itu. Entah setan mana yang membisikkannya pada perempuan perempuan lain yang kemudian membisikkannya kepadaku dangan mata bersinar lebih terang dibanding sorot lampu mercu suar kala purnama, suara mereka lebih gaduh dibanding teriakan teriakan kasar para makelar di pasar, “Suamimu baru saja membeli perawan.” Aku hanya bisa menanggapinya dengan tergagap, mulutku megap megap tanpa suara, serupa ikan kehabisan udara di geladak kapal. Perempuan perempuan itu semakin nyala matanya,”Tanya saja bu Dewi, dia tahu sendiri dari seorang kenalan yang temannya punya saudara angkat, kakaknya punya anak perawan, mereka butuh uang untuk biaya operasi kanker prostat ayahnya, kakak saudara angkat temannya kenalan bu Dewi itu.”
Lebih menakjubkan dari semua kenyataan yang terjadi saat itu, aku tidak pingsan di tengah perempuian perempuan yang matanya telah menjelma obor besar teracung dihadapanku, seakan siap membakarku hidup hidup. Tak bisa kuingat jelas kejadian setelah itu, bagaimana aku pulang, naik taxi atau mobilku sendiri. Tahu tahu aku sudah tiba di rumah, berjalan melintasi ruang tamu, melewati begitu saja kedua anak balitaku yang sedang makan malam disuapi pengasuhnya masing masing.
Di dalam kamar yang sengaja kugelapkan dapat kulihat dengan jelas wajah seorang gadis yang gamang sekali tatapan matanya. Mungkin gadis itu aku, atau gadis antah berantah yang baru menjual keperawanan, gadis pemilik selaput dara yang ayahnya mengidap kanker prostat yang dibicarakan perempuan perempuan di dekat telingaku dua jam yang lalu. Aku masih terjaga dengan tubuh tegang ketika suamiku datang, mengganti bajunya tanpa menyalakan lampu lalu rebah di sampingku. Sepertinya aku tertidur, bermimpi buruk dan bagus bergantian bersamaan dengan gelisah tubuhku, berkali kali merubah posisi tidur. Sungguh membingungkan bagaimana seseorang yang tertidur dan bermimpi bisa mengingat berapa kali membalik badan. Hingga malam berlalu aku tak terjaga.
Kurang lebih satu setengah jam yang lalu suara alarm membangunkan tidur panjangku, refleks tanganku bergerak ke samping, menyentuh pundak suamiku yang masih tidur lelap. Betapa lega dan damai rasanya, setelah sholat subuh. Seperti kebiasaanku, aku pindah ke ruang baca di samping kamar tidur, menghidupkan komputer, membaca dan menuliskan apa saja yang bisa kubaca dan kutulis hingga waktunya menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Aku dan suamiku hanya tinggal berdua di sebuah apartemen, di sebuah negara, malah benua yang terletak beribu mil jauhnya dari tempat perempuan perempuan yang dua puluh tahun silam membuatku nyaris hangus terbakar api neraka.
Udara sejuk dan keheningan dalam ruang baca membuatku bisa mengingat semuanya dengan baik sekarang, sangat baik dan tenang. Lima hari berselang kiriman itu sampai di tanganku. Lewat telepon sambungan langsung internasional kuminta seorang pengurus rumahku yang telah sejak lama kupercaya dan terbukti bisa diandalkan membereskan semua benda yang nampak penting dan berharga di rumah lamaku, buku buku, setumpuk compact disc, dan segenggam flash disc termasuk di dalam paket yang kusambut dengan antusia kedatangannya. Kebetulan ini flash disc ketiga yang kuperiksa dan kucermati tiap file yang tersimpan di dalamnya. Aku tersenyum lebar kembali untuk kesekian kali ketika membaca salah satu file tulisanku, kalimat pertamanya sungguh ngawur, setelah dua puluh tahun berselang aku masih berpendapat demikian.
Kelewatan sekali kutuliskan itu, keperawan adalah bukti kecerobohan tuhan, tapi tuhan bukanlah manusia yang kecerobohannya bisa menyebabkan bencana. Keperawananku misalnya, telah kujual sembarangan demi hasratku melampiaskan amarah kepada ibu yang meninggalkan ayah dan kedua adikku untuk menikah dengan seorang seniman eksentrik dari luar negeri, sama sekali tidak berakhir buruk bagiku. Awalnya memang serasa tak tertanggungkan, seperti terkena radang usus akut yang membuatku ingin muntah sepanjang waktu. Tapi pelahan segalanya membaik. Selaput dara memang berharga dan beruntung sekali tuhan menaruhnya pada alat vitalku, ayahku memperoleh modal untuk membuka usaha, menata kembali hidupnya, aku dan kedua adikku kembali melanjutkan sekolah tanpa hambatan, pendeknya kehidupan keluargaku membaik meski tak ada lagi ibu.
Makin ajaib ketika lelaki yang membeli selaput daraku akhirnya berniat hidup bersamaku, lelaki lajang yang mapan dalam segalanya. Kisahnya seperti mimpi, persis seperti tanah kelahiranku yang sering dipuja sebagai tanah impian, pulau dewata. Masih kuingat pula betapa berita tentang selaput dara seorang gadis lain sempat membuatku terguncang, hampir hancur berantakan. Kenyataanya tak pernah sengeri yang kucemaskan. Waktu berlalu memudarkan noda, mengeringkan air mata, membawaku terbang ke tanah yang jauh, tak buruk juga meski namanya bukan pulau dewata. Kini aku seorang perempuan terpelajar dengan kedudukan dan pekerjaan cukup terpandang. Kedua anakku, perempuan dan lelaki juga telah tumbuh dewasa mendapatkan segala yang terbaik yang bisa diharapkan.
Tuhan memang tak pernah salah, kurasa inilah waktu yang tepat untuk meralat tulisanku. Tuhan sama sekali tidak ceroboh seperti yang kukira dan pernah kutuliskan pada masa lalu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar