Rabu, 29 Juni 2011

asap di rongga dada

by Dian Aza on Sunday, June 5, 2011 at 12:24am
Hujan akhirnya datang setelah berhari hari gerah. Lelaki itu duduk sendiri di lantai rumahnya, hanya ditemani pemantik gas murahan, sebungkus sigaret tergeletak di dekat lututnya, saling menanti dengan bibir dan jemarinya untuk saling menyentuh. Lelaki itu tak perlu bergerak untuk tahu bahwa di luar hujan lebat sedang berjatuhan dengan keras memukuli atapnya. Atap yang kokoh melindungi tubuhnya dari basah dan gigil yang mengintai di luar rumahnya.

Aku tak harus memikirkan apa apa katanya tanpa suara, asap memenuhi rongga dadanya yang sebelumnya juga sudah dipenuhi lendir dan nanah, jika meleleh keluar lewat lubang hidung lendir dan nanah itu dinamai ingus, membuatnya harus sesering mungkin mengusapkan punggung tangannya di sekitar lubang hidungnya. Ini malam yang keberapa setelah dia melewati banyak hari yang membuatnya jadi seperti malam ini. Berada di sebuah tempat tanpa sebab dan alasan. Diam yang lebih panjang dari lintasan matahari dari terbit sampai tenggelam.

Tidak, aku tidak menyesal, bahkan aku tak tahu apa itu sesal. Dia tiba tiba ingat sebuah benda lembek yang menggumpal di dalam lubang hidungnya. Rasanya sedikit asin, kalau tak salah mirip bagian bawah sandal yang sering dijilatinya semasa balita. Bagaimana mungkin aku bisa masih ingat, kegiatan yang kulakukan di masa yang telah sangat silam, apa karena rasa pedas tamparan seorang lelaki besar mirip dirinya. Seorang lelaki besar di saat dia masih kecil yang tak suka melihat caranya bermain main. Seperti sandal, dia tak mengenal sesal, lelaki besar itu mestinya juga demikian, tak tahu artinya sesal. Lelaki katanya tak boleh menyesal. Cuma perempuan boleh menyesal. Ijin untuk menyesal itu yang kerap kali disalahgunakan perempuan. Hampir semua perempuan kerjanya hanya menyesal. Setiap hari ada saja yang disesalkan, terbukti kemudian kalau menyesal adalah pekerjaan yang sia sia, bahkan cenderung sangat berbahaya.

Ibunya, tentu saja seorang perempuan, seperti perempuan lainnya juga sangat gemar menyesal, menyebalkan. Menyesal hanya sebuah jalan untuk kembali pada kesalahan, bahkan lebih mengerikan seringkali menyesal dijadikan sebuah pembenaran. Satu satunya manusia yang dekat dengannya sejak lahir adalah ibunya, dan hanya menyesal itu saja yang selalu pula dikerjakan ibunya, bisa dibayangkan betapa memuakkan, tapi lelaki tak kenal menyesal, mungkin itu sebabnya dia gemar menjilati bagian bawah sandal, rasanya lebih sedap dari pada menyesal.

Bagian bawah sandal punya rasa yang tak bisa dijelaskan kata, begitu pula warna dan aromanya. Terlebih lagi jika sandal itu baru saja dipakai berjalan jalan di pasar pagi pagi setelah hujan lebat semalaman. Benar benar dahsyat, sebuah campuran begitu banyak zat yang terlarut pada lumpur dan genangan air di sepanjang jalanan pasar yang becek.

“Dasar geblek !” Lelaki besar mengatakannya dengan suara menggelegar, lalu kilat kilat melintas di wajahnya, bibirnya yang masih kecil menjadi merah dan basah, berkumur darah.

Perempuan itu ibunya, hanya bisa menyesal tak bisa mencegahnya menjilati bagian bawah sandal.

Perempuan kedua yang dekat dengannya tak berbeda jauh dengan ibunya, menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menyesal. Lelaki itu tak tahu apa perempuan kedua dalam hidupnya yang kemudian menjadi istrinya itu telah terbiasa menyesal sejak dulu, sejak mereka belum bertemu, atau penyesalan itu baru menjadi kegemarannya sejak mengenalnya dan berbagi waktu dengannya. Lelaki itu pernah memikirkannya sebentar, hanya sebentar.

Sebentar kemudian lelaki itu bertambah yakin bahwa sesal itu rasanya jauh lebih buruk dibanding bagian bawah sandalnya. Lelaki itu sungguh sungguh menyesal pernah sempat menyesal, memutuskan dangan mantap tak akan pernah lagi sudi merasakan sesal. Satu satunya keputusan terbaik dan berguna sepanjang hidupnya.

Lelaki itu tidak menyesal telah membuat istrinya yang baru dua minggu berada di rumah sepulangnya dari bekerja di luar negeri membunuh anaknya. Sebenarnya istrinya tak membunuh bocah lelaki berusia empat tahun itu, hanya tak sengaja menjatuhkannya dari gendongan ketika mengendarai motornya, hendak minggat dari rumah mereka, pergi menjauh darinya.

Kini istrinya terbaring di rumah sakit, patah lengannya, kehilangan akal sehatnya. Kecelakaan itu merenggut nyawa satu satunya anak mereka. Sorang lelaki muda lainnya juga sedang terbaring di rumah sakit yang sama, dengan luka bakar delapan puluh lima persen di sekujur tubuhnya, seorang bocah perempuan berusia sebelas tahun patah kakinya. Seorang tukang ojek tua juga luka parah. Entah bagaimana kejadian sebenarnya, lelaki itu hanya mendengar cerita bahwa motor yang dikemudikan istrinya sambil menggendong anaknya nyelonong menabrak sebuah warung di pinggir jalan, setelah oleng tak terkendali karena menghindari sebuah motor lain, sempat pula melintasi gundukan pasir di tepi jalan, begitu parah nampaknya bisa diduga kalau mendengar suara benturan dan pekik teriakan orang orang di sekitar tempat kejadian. Bensin, beras, tembakau dan aneka macam barang lainnya berserakan tak keruan, api berkobar sejenak. Semua saksi mata mengatakan betapa ngeri peristiwanya.

Tak ada seorangpun yang tahu apa yang terjadi sebelum istrinya pergi mengendarai motor sambil menggendong anaknya, hanya lelaki itu dan perempuan istrinya yang tahu tentang pertengkaran hebat di rumah mereka, seorang bocah berusia empat tahun pasti tak tahu apa apa selain menangis keras. Para tetangga mestinya menduga bocah itu menangis keras karena demamnya meninggi kembali. Sungguh sungguh tak ada yang tahu semua kekacauan yang pada intinya merupakan luapan penyesalan perempuan yang merasa telah menikahi seorang bajingan tak berakal

Akhirnya terbukti, Tuhan lebih menyayangi lelaki yang tak pernah menyesal itu, malaikat lebih melidungi dan menjaga keselamatan lelaki itu dibanding istri dan anaknya. Segala urusan tiba tiba menjadi begitu sederhana. Tanpa disangka sangka lelaki itu malah masih mendapat berkah, santunan asuransi dari jasa raharja, lumayan jumlahnya,  cukuplah kalau untuk beberapa malam bersenang senang, selalu tanpa penyesalan. Istrinya yang sekarang terbaring di rumah sakit setengah hidup setengah mati tentu tak bisa mengatakan apapun, bahkan mungkin tak akan pernah bisa mengatakan apapun sepanjang sisa hidupnya. Ada para kerabat yang akan mengurus perempuan malang itu, para kerabat yang dulu sempat ikut menikmati jerih payah perempuan itu semasa masih sehat dan waras, semasa perempuan itu giat bekerja sambil menyesal setiap waktu. Selain setengah hidup dan mati, perempuan itu kini setengah waras setengah gila. Menyesalpun tak lagi bisa dikerjakan perempuan itu, padahal dulu dia sangat mahir. Perempuan itu kini hanya bisa mengerang sepanjang hari, memperdengarkan gumaman aneh dari tenggorokannya, suara tanpa makna di antara liur yang juga kerap mengalir dari celah bibir setengah terbuka yang dulu begitu sering dilumat lelaki yang tak mengenal sesal sepanjang hidup. Lelaki itu juga tak sedikitpun menyesal pernah melumat bibir perempuan sekarat itu, perempuan yang mendadak menjelma pembawa bencana bagi banyak orang. Lelaki itu masih ingat dia juga pernah menjilati perempuan setengah mati setengah gila itu, lelaki itu tak menyesal melakukannya meskipun rasanya tak selezat bagian bawah sandal di masa kecilnya.

Sempat terpikir sebentar, benar benar hanya sebentar oleh lelaki itu, seandainya bocah lelaki berusia empat tahun itu tidak wafat mungkin akan segera bisa diajarinya menjilati bagian bawah sandal. Lelaki itu tak akan membentak bocah lelakinya jika ketahuan menjilati bagian bawah sandal, apalagi menggampar, pasti tak akan pernah. Lelaki itu justru akan merasa senang bercampur bangga mengetahui bocah lelaki itu akan tumbuh dewasa serupa dirinya, menjadi lelaki tangguh yang tak mengenal sesal, tidak barang sejengkal.

Sesaat setelah melontarkan puntung sigaretnya ke seberang ruang, dengan tenang lelaki itu meraih sebungkus sigaret di dekat lututnya. Masih tersisa banyak batang batang sigaret di dalam bungkusnya, setiap batang sigaret seperti berteriak berebut menarik perhatiaannya. Lelaki itu tak menghitung, tak acuh diambilnya sebatang sigaret untuk diselipkan ke celah bibirnya yang hitam. Dengan jari jarinya yang berkuku hitam lelaki itu menyalakan pemantik gasnya, menghisap ujung sigaret sekuat paru parunya. Segera saja rongga dada lelaki itu dipenuhi bergumpal gumpal asap, terasa sesak dan hangat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar