Rabu, 29 Juni 2011

jasa ayah

by Dian Aza on Saturday, June 11, 2011 at 2:21am
Aku selalu ingat ayahku berkata, aku tak punya perasaan. Mungkin ayah benar, aku tak punya perasaan karena tak pernah menangis ketika mendengar semua makian dan kalimat kalimat yang dikatakan persis di depan wajah sambil melototkan mata. Bukankah itu sempuna, tak punya perasaan. Karena sejak lahir tak pernah disusui ibu, ayah melanjutkan kalimatnya sambil menerawang. Tak pernah disusui ibu sungguh indah, kalau itu penyebab aku tak punya perasaan, betapa bagusnya dunia.

Cuma orang udik dan melarat yang mesti repot menyusui anaknya, atau malah binatang. Orang orang kaya dan terpelajar tentu mampu memberi yang lebih hangat dan sehat daripada cairan yang mengalir dari payudaranya sendiri, cairan yang bahkan dia sendiri tak pernah tahu dan mencicipi rasanya. Tak diukur suhunya ketika diberikan kepada bayi, tak pakai wadah botol botol susu yang cantik, botol botol berharga mahal yang tak meleleh di titik didih. Dari banyak sudut pandang bisa dipahami semua yang tersirat bahwa air susu ibu tidak berkelas dan kampungan, juga rawan pelecehan. Sering kulihat perempuan perempuan telanjang dada di tempat umum dengan dalih menyusui anaknya, seperti tak kenal peradaban saja. Kupikir melecehkan diri sendiri lebih buruk daripada dilecehkan orang lain, dan itulah yang mereka kerjakan sesering mungkin, ibu ibu yang menyusui anaknya melecehkan diri sendiri dengan membuka bagian atas bajunya, menyodorkan payudara ke mulut anaknya kapan saja bayi yang tak tahu apa apa itu mulai resah. Sungguh memalukan dan tak enak dipandang.

Setidaknya aku tahu ibuku bukan perempuan kampungan, tak pernah membiasakan aku memaksanya berbuat tak sopan. Ibuku juga pasti sangat menyayangiku, mau bersusah payah memilihkan susu formula yang terbaik untukku. Ibuku pasti dengan cermat membaca tabel kandungan nilai gizi yang tercetak dengan tulisan kecil kecil pada setiap kaleng susu di supermarket. Masih pula harus mempertimbangkan rekomendasi dari banyak pihak tentang kualitas susu formula yang berjajar dan bertumpuk sangat banyak di atas rak, belum lagi pertimbangan ekonomis, pasti sangat sulit memutuskan susu formula terbaik yang harganya masuk akal, bisa dibeli dengan rutin, cukup untuk membuatku kenyang dan nyaman sepanjang hari hingga aku bisa makan nasi dengan lahap.

Belum lagi botol susunya, harus dicari yang sungguh sungguh bagus. Tahan banting, tak bikin tersedak ketika dihisap, tak berbau tak sedap, mudah dicuci, dalam arti sungguh sungguh dibersihkan hingga ada sebutannya sendiri yang lebih mengesankan jika dikatakan, disterilkan, dijadikan bebas kuman, padahal siapa yang sanggup menyingkirkan kuman yang bahkan tak terlihat dengan kaca pembesar. Setiap kali hendak digunakan botol susu mesti direbus atau disterilkan terlebih dahulu, bisa dibayangkan betapa jauh lebih rumit ketimbang kalau ibu memberiku air susunya sendiri.

Ayah pasti tak tahu menahu tentang semua kerepotan memilih susu formula itu, dengan ringan dan tak peduli mengatakan pendapatnya tentang ibu yang tak memberikan air susu ibu padaku. Perihal tak punya perasaan, seperti yang dikatakan ayah tentangku sungguh sempurna. Apa gunanya perasaan, tak bisa dimakan, tak bisa dijual pula, tak mengenyangkan dan hanya bikin tak nyaman. Tak ada yang bisa mengerjakan hal hal berguna dengan perasaan.

Aku terlanjur terbiasa menyangkut pautkan perasaan dengan sesuatu yang di pahit lidah, sesak di dada, panas lalu basah di mata, sebab itulah yang kerap terjadi ketika aku mulai tanpa sadar mengatakan bahwa aku merasa ini atau itu ketika baru saja melihat, mendengar atau menyentuh sesuatu. Begitu pula yang ditanamkan dalam benakku oleh orang orang di sekitarku, ayah yang terdekat setelah ibu wafat, selalu berkata aku tak punya perasaan pada saat aku tak merasakan pahit, pedih, panas dan basah setelah mendengar semua kalimat yang sudah diucapkan ayah lebih dulu sebelum mengatakan aku tak punya perasaan. Mungkin ayah tak tahu atau tak mau tahu tak kupersoalkan itu, kata katanya kemudian terbukti lebih berjasa padaku dibanding semua jerih payah dan pengorbanan ibu dalam hal tak memberi air susu ibu di masa awal hidupku.

Setelah bertahun tahun berlalu, kusadari betapa aku berhutang budi pada ayahku. Ayahku, orang yang paling menyayangiku, paling berjasa membesarkanku hingga tumbuh jadi manusia seutuhnya yang tak punya perasaan seperti sekarang. Dunia dan manusia tak pernah berubah, juga perempuan dan bayi bayi mereka, betapa indah dan berseri kudengar canda seorang sahabatku di sekolah menengah, aku tertawa keras ketika sahabatku Monik berkata dengan suara lantang hingga didengar seisi kelas, jangan salahkan bunda mengandung, salahkan bapak punya burung.

Betapa merdu dan nyaring denyut denyut kehidupan di masa muda bagi seseorang yang tak punya perasaan, seseorang yang tak perlu menutup telinga dan mata kapan saja mendengar bayi bayi menangis kuat, mungkin kelaparan di jalan jalan, di pasar pasar atau terminal, dan perempuan perempuan dengan sigap akan membuka bagian atas bajunya, menyumpalkan payudaranya ke mulut bayi bayi mereka yang segera redam tangisnya.   .

Aku hanya masih ragu, haruskah kuminta maaf kepada ibuku, karena gagal menjadi perempuan terhormat seperti ibuku dulu, walaupun tamat belajar di sekolah menengah umum, aku tak pernah mampu memilih dan memberikan susu formula untuk bayiku. Setelah menjadi ibu, semakin kuingat jasa ayahku, telah mengatakan dan meyakinkan sejak dulu kalau aku tak punya perasaan. Setiap kali bayiku menangis di waktu aku berada di warung kopiku, aku bersyukur telah menjadi perempuan yang benar benar tak punya perasaan, dengan cekatan kubuka dua kancing teratas dasterku lalu kujejalkan salah satu payudaraku ke mulut anakku. Bisa kudengar suara decak lidah dan kuamati gerak bibir mungil bayiku tanpa perasaan, nafasnya teratur dan tenang bersamaan dengan matanya hampir terpejam. Tak kuhiraukan tatapan tajam yang dilemparkan tepat ke arah dadaku oleh beberapa lelaki yang sedang meniup niup kopinya sambil bergunjing.

Tak punya perasaan membuatku baik baik saja di hari kematian ibuku, kemudian ayahku. Aku juga tak menangis ketika ayah bayiku meninggalkanku begitu saja hanya beberapa hari setelah anaknya lahir, dengan membawa barang barang berharga dan perhiasan peninggalan ibuku. Tak ada rasa pahit di lidah, aku juga masih bisa bernafas lega sesudah memastikan bayiku tak diterima sebagai cucu oleh orang tua ayahnya, sejak semula hubunganku dengan ayah bayiku memang tak direstui keluarganya. Bisa jadi karena mereka mengerti aku perempuan kampungan sekaligus tak punya perasaan. Tak masalah, tak punya perasaan membuatku tak jengah melecehkan diriku sendiri, tak ragu mengerjakan apa saja demi seorang bayi, menunggui warung kopi penuh pembeli lelaki sambil memberikan air susu ibu kepada bayiku*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar