Selasa, 28 Juni 2011

sekulum senyum

by Dian Aza on Friday, April 29, 2011 at 12:54am
Memahami bumi sudah uzur, menjadi nenek moyang yang canggung pada kecanggihan jaman, anakanak malam hanya melukis gambargambar sederhana. Lingkaran, dua titik dan lengkung. Cekungan menanti butirbutir permen berjatuhan untuk ditampung sekulum senyum. Biarkan aku mengenangmu, sekulum senyum, basah dan merekah, mengundang keraguan atau kecupan yang dilempar sekilas, cepatcepat digenggam agar tak terjatuh, segera sembunyi di balik punggung, tak terbaca, tak terinjak langkah.

Begitulah seingatku yang diajarkan di sekolah, memetik katakata gelisah ibu bapak guru dari bangku dan bukubuku. Kupinjamkan untukmu setelah kutuliskan kalimatkalimat asam manis buah hati, kelak akan tiba waktu kalimatkalimatku meranum, jadi sajaksajak berguguran, satu dua tersangkut di topimu, memanggil jemarimu untuk memindahkannya ke dalam saku baju, ingin kudengar jantungmu menghapal catatanku sangat dekat.

Waktu berjalan mengelilingi bumi, memutar dunia jadi pagi. Kau mengajariku melipat pesawat terbang. Bapak ibu guru setia duduk di atas bangku, membaca bukubuku. Aku memintamu memainkan lagu, memetik senar dari debar jantungku. Bumi sudah uzur mencoba menegur suarasuara dari keningku, tiangtiang dan menara mengeluh pening mendengar gemuruh permen berjatuhan dari pesawat terbang. Jaman baru, jaman baru, anakanak malam berseru dari dalam rumahrumah kaca.

Jangan resah, kita juga penah seperti mereka kauberkata, anakanak malam raguragu mengulum senyum. Aku hampir lupa, kaukeluarkan sobekan halaman bukubuku yang dulu kupinjamkan untukmu. Rumah kaca akhirnya pecah, salah satu serpihan dindingnya menerangi mataku, sekulum senyuman milik kita merekah di manamana*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar