Selasa, 28 Juni 2011

kawan baik

by Dian Aza on Saturday, April 30, 2011 at 1:22am
Bintikbintik merah bermunculan di kulitnya dengan berbagai gradasi warna. Sungguh indah terpandang oleh matanya yang juga kemerahan, sembab. Perempuan itu berpikir bintikbintik merah itu seperti hujan berwarna berjatuhan menimpa lengannya, atau seperti percikan bara dari perapian yang baru dinyalakan, atau seperti buahbuah keres yang matang bersamaan dalam satu pohon, warna kemerahan yang menyembul begitu saja, amat banyak mengintip dari celah daun dan ranting.

Kepalanya berdenyut, nadanya semakin merdu terdengar, perempuan itu juga sedikit menggigil. Demam membuat dunianya gemetar, jantungnya berdegup keras dalam tempo lambat, seakan setiap degupnya mencoba mengurai sebuah cerita yang ingin didengarnya, dirindukannya di antara mimpi dan jaga. Kenapa manusia harus meredakan demam, dia sempat bertanya, hanya di dalam dan kepada rongga kepalanya sendiri. Rongga kepalanya menggelembung menjadi aula besar, dinding dan lantai jernih memisahkannya dari segala sesuatu di luar rongga kepalanya, dia bisa menari mengelilingi seluruh aula itu, perempauan itu sangat suka menari, menggerakkan setiap bagian tubuhnya seirama nadanada yang menggema bersahutan dalam rongga kepalanya.

Dinding aula sebening kaca, menampakkan siapa saja yang ingin dilihat perempuan itu, tubuhtubuh dan kepalakepala yang utuh, lengkap dengan cara berdiri, gaya pakaian dan pandangan mata atau senyum sehangat yang ingin dilihatnya dari manusiamanusia di dinding aula. Lebih menyenangkan lagi, jika mereka menghampirinya ketika dia ingin menari bersama yang lain. Berputar, menjulurkan tangan panjangpanjang ke samping, menegakkan leher tinggitinggi ke atas, berputar, menekuk pinggang, membuat gerakangerakan melingkar dengan pinggul, lengan dan tungkainya. Perempuan itu tersenyum, menghapus peluh di dahinya, menari di aula seluas rongga kepala memang melelahkan. Kelelahan yang melegakan. Dia senang karena sudah dewasa, mandiri dan bekerja, tak ada seorangpun yang bisa memaksanya minum obat pereda demam. Obatobat itu hanya akan membuatnya mual, membuat sorot mata dan senyuman di dinding aula meredup seiring surut tariannya.

“Kau memang sinting.” Begitu kawannya selalu mengatai perempuan itu, sering kali sambil menyilangkan telunjuk di keningnya. Kawan itu tak pernah mau mengunjungi aulanya, betapapun perempuan itu membujuk, merayu hingga memohon dengan sangat.

Entahlah, kawan macam apa jika tak mau diundang ikut bersenangsenang di aula dalam rongga kepala. Tapi kawan satu hal lumayan baik yang dimilikinya di saat demamnya reda. Demam itu selalu reda tanpa dikehendaki, seperti kala datang, pergipun begitu saja, tahutahu aula dalam rongga kepala lenyap, hanya tersisa ruang sempit berdinding kusam, penuh coretan tanpa makna. Jika tidak sedang berada di aula dalam rongga kepalanya, perempuan itu cuma bisa menarikan jarijari tangannya, meninggalkan jejakjejak kacau pada dinding ruang di luar rongga kepalanya.

“Kau memang sinting. Aku pasti pergi jauhjauh darimu kalau ada tempat lain.” Tempat lain pasti ada di manamana, tapi perempuan sinting hanya ada di sini, kawan itu tak sengaja telah menegaskan bahwa tak ada tempat lain yang lebih baik didatangi dari pada di dekat perempuan sinting. Lagi pula perempuan sinting itu lebih suka terus mencoba berlamalama berada dalam rongga kepalanya sendiri, jadi kawan itu akan sangat jarang merasa terganggu, kecuali oleh dengung nyamuk.

Perempuan itu menyayangi nyamuk setara dengan rasa sayang kepada rongga kepalanya sendiri. Seperti demam, rasa sayang juga terjadi begitu saja, wajar tanpa dibuatbuat. Semua mahluk yang berwatak hampir sama cenderung saling menyukai. Perempuan dan nyamuknyamuk, samasama suka berputarputar dan bergetar tanpa jeda, samasama menyukai aroma hangat manusia, samasama nakal, ibu perempuan itu pernah berkata.

“Kau memang sinting.” Kawan itu berkata setiap kali perempuan itu duduk atau berbaring menatap penuh minat pada seekor nyamuk yang sedang bertengger di lutut atau lengannya. Kejadian pertama, kawan itu dengan geram memukul seekor nyamuk di pipi perempuan. Segera ruang sempit menjadi ribut, perempuan itu menjerit dan menangis pilu sambil mengusap darah dan serpihan tubuh nyamuk dari wajahnya.

“Kau sinting ya. Ada nyamuk hinggap di pipimu. Bisa bentol kau digigitnya, kalau nyamuk malaria atau demam berdarah, hahh. Harusnya kau bilang terima kasih padaku.”

Sejak tragedi pembunuhan nyamuk di pipinya, perempuan itu enggan bicara dengan kawannya. Nyamuk adalah nyamuk, seperti kata ibunya, mirip dengannya, samasama nakal, berdengung dan berputar tanpa henti. Nyamuk hinggap di kulit manusia untuk menghisap darah, memuaskan dahaganya saja, menyambung hidupnya, secukupnya, hanya untuk hidup yang sejenak, mungkin sempat bertelur sesuai amanat semesta memenuhi bumi dengan jenisnya. Apa salahnya seekor nyamuk menghisap darah, selalu secukupnya saja, tidak serakah, tak pula dibawa pulang, tidak untuk diperjualbelikan, tak disimpan untuk menjamin masa depan atau sekedar untuk memenuhi kebutuhan rasa aman.  Tak akan berkurang usia atau apapun juga miliknya hanya karena berbagi beberapa mililiter darah dengan nyamuknyamuk manapun. Kalau saja kawan itu tahu, betapa lucu dan seksi seekor nyamuk yang sedang minum, kakikaki ramping, sayap cantik, belalai meliuk indah menancap ajaib menembus kulit. Pinggulnya mengembang pelan terisi cairan darah, kalau kebetulan sebagian tubuh dan kakinya hitam putih malah terilhat tambah cakep dan trendy. Pendeknya tak ada satupun alasan masuk akal yang bisa bikin perempuan itu menjadikan seekor binatang mungil bersayap menjadi musuhnya. Nyamuk juga tak pernah mengatai perempuan itu sinting macam yang kerap dikerjakan kawannya.

Nyamuknyamuk ternyata juga tahu membalas jasa. Tahu memahami dan mengerti cara membuat perempuan itu bahagia. Bahagia. Bahagia berada lama di dalam rongga kepalanya yang berubah jadi aula besar berlantai dan berdinding terang. Bahagia menarinari dikelilingi wajahwajah dan tubuhtubuh yang suka cita melihatnya menari sambil menikmati wajahwajah dan tubuhtubuh yang ingin dilihatnya. Hiburan paling mewah untuk seorang perempuan yang tinggal dalam ruang sempit berdinding muram berteman seorang kawan yang gemar mengatainya sinting sesering mungkin.

“Kau memang sinting. Minumlah obat, atau kau mau dipecat, tiga hari bolos kerja”

Perempuan itu menggeletar senang, nyaris tertawa, bintikbintik merah di lengannya nampak kian indah warnanya, serupa semaksemak bunga musim semi yang baru merekah. Dari aula besar dalam rongga kepalanya terdengar suara tepukan, riuh dan hangat, wajahwajah tersenyum ramah, mengangguk hikmad, perempuan itu baru saja mengajak seseorang lelaki berwajah cerah menari bersama. Bintikbintik merah juga bahagia, terlihat mulai turut berayun, gemulai, benarbenar serupa rumpun berbunga tertiup angin musim semi di bukitbukit, segumpal awan keperakan menyentuh matanya dengan lembut*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar