Andai bisa berkata-kata mungkin bisa kau ceritakan banyak kisah.
Kisah tentang gelisahnya kalbu, menghirup lalu menghembus asap.
Mengandalkan linting tembakau, cengkeh dan sekian jenis zat berbalut kertas jadi sahabat,tempat berbagi tanya yang bersilang jawab, ruang curahkan keluh yang terlalu beku.
Jadi wadah sajak-sajak yang wafat sebelum sempat terlahir frasa,
serupa liang lahat untuk mimpi yang terbunuh pagi.
Sesak ruangmu oleh ampas kekesalan pada himpitan hasrat yang sesat tanpa alamat.
Puntung harapan yang sempat melambung sesaat, membubung tinggi ke langit mendung. Sayang nasib belum beruntung, hanya jadi patung-patung berkaki buntung, terpuruk pada lambung keramik merah hati.
Hanya bentuk hati, tanpa arti, tanpa pamrih, setia menanti residu madu cinta mawar yang tawar.
Ikhlasmu, tanpa henti kotori ruangmu oleh candu dari harum racun.
Setiamu, semakin luap rasa asam lidah pada bual dusta, semakin berserak debu pahit muntahan nurani pada wajahmu.
Salutku , kau sungguh tabah jalani peranmu, tanpa peduli basa-basi, tak butuh ucapan terima kasih, kau biarkan tubuhmu menghangus demi nikmatnya laknat.
Kagumku, kau seolah tak pernah penuh, selalu masih tersedia tempat bagi abu yang baru; baru meluruh dari bara hati yang tak henti bertarung sepi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar