Jumat, 26 November 2010

labirin (entah apa, mungkin bukan puisi)

Andai aku tau kemana asap menghilang. Segala hal punya siklus dalam hidup, tapi nampaknya asap punya takdir berbeda. Menguap lenyap tanpa jejak. Mereka, yang katanya berotak cerdas tau banyak cerita tentang asap, asap kretek, sigaret, cerutu, candu, cendana, limbah, sampah, juga asap penggoda selera dari uap nasi jagung atau singkong rebus yang berdesakan di celah kayu dapur, bergulung dekat sumur. Mereka yang pintar, disebut ilmuwan, paham zatzat yang terkandung dalam tiap kepulan yang melayang searah angin, tak cukup tinggi tak jauh pula, sebentar menghilang, aku hanya bisa diam mencoba mengingat aroma syahdunya. Persetan dengan nama beragam zat dan istilah ilmiah, tak peduli aku pada segala macam proses dan reaksi kimia, bahkan aku tertawa geli dalam hati, sambil berbisik sinis; mereka yang merasa pintar, sesungguhnya hanya manusia sinting, sungguh malang mereka tak punya sesuatu yang cukup berharga untuk dikenang hingga kerjakan halhal tak berguna, lalu mencatatnya sebagai pengetahuan yang mesti dihapal anakanak sekolahan, tentu bukan aku, si badung, dan pemalas, kata guruku yang kurang ajar. Biar saja, biar akan kupastikan aku takkan pernah jadi pembaca dan pengikut mereka. Aku suka kegilaanku sendiri, aku pencipta imajinasiku sendiri, aku narcist tak tau diri. Aku punya kisahku sendiri, akan kuceritakan tentang asap, terutama asap yang sering lewat dan singgah pada nafasku. Aku jenius yang awam, hanya bisa pikirkan kesederhanaan kenyataan, saat kuhirup aroma mint bercampur pahit ke rongga dada sepertinya sekuat daya kubenamkan segala nikmat dalam hangat ingatan, ada pemberontakan tak tertahan dalam selsel otak dan aliran darah, mendobrak sekat jantung, menerobos bilikbiliknya, serupa peluk perjumpaan yang harus diulang dalam dekapan perpisahan, gejolak hasrat tak pernah sempurna tercatat, belum tuntas tercurah, tergerus sendunya rindu, kelabu, asap memaksa melesat terbang, tanpa belas kasihan tinggalkan rasa lezat seketika jadi angan sesat, tercabik, terbuang, berusaha bertahan riang, meriang sebelum meradang, terkekang ruang, terjerat detak.
Tak kutemui desir angin membawa asap pergi, tak ada panas cahaya merubah asap jadi uap digumpal awan. Tanpa alasan, tanpa penjelasan, mungkin ada sedikit kesan, atau pesan samar tertera dirongga hidung, pun di sudut mata pedih ini.
Asap hilang begitu saja, serupa waktu berlalu tanpa tau kemana menuju. Aku meratapi ruang, kehilangan harum asap segala kenangan dari waktu ke waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar