Jumat, 26 November 2010

kisah labalaba

Mungkin kau terlanjur menerjemahkan dengan salah segala yang tersurat di garis hidupku

Aku yang kecil dan tak berarti, mungkin pula aneh dan ganjil

Ku untai sarangku dengan jernih liurku, sarang yang istana dimata pejantanku, sarang yang neraka di tubuh mangsaku.

Aku jelas bukan arsitek, apalagi artis, mana bisa jadi sok baik dan pintar secara teknis

Cuma mahluk mungil bermata bengis dengan sejumlah kaki yang mengarah tepat ke delapan penjuru mata angin, kirakira itukah definisimu tentangku, aku paham tentu pula kau tak pernah tau;
Aku sabar menunggui bukan hanya mangsa, tapi juga ceritacerita untuk singgah terjerat disarangku, aku tak lelah merajut kembali tiap helai benangbenang terkoyak yang terentang antara dinding rumah dan semaksemak perdu berbunga ungu itu. Semaksemak di mana kekasih tampanmu bergelayut saat rindu menghanyutkan hasratnya begitu kuat untuk memagut bibirmu, tak peduli bertaruh maut. Semaksemak yang merasa terhormat bisa jadi saksi romantisme pilu sebuah cinta terhalang, kau pasti takkan pernah tau semaksemak itu diamdiam membantu, menguatkan dan memanjangkan sulursulur tebaiknya agar kekasihmu lebih mudah memanjat dinding untuk menjengukmu yang mulai lapuk oleh rindu berkarat.

Aku tau kalian saling mencintai dengan segala bentuk kenaifan usia muda, bersaing dengan bulan merebut singasana malam terlarang yang terlupakan oleh tuatua bijak karena terlalu sibuk berperang, ato sekedar mencari uang.

Kau putri cantik, sejak semula aku sudah menduga ceritamu akan jadi legenda abadi tanpa pernah mati, kau dan kekasihmu telah menebus harga cinta yang tak siasia. Kekasihmu telah rela membayar tunai setiap rindu menuntutnya datang berlutut dipangkuanmu. Dengan seluruh harga penawaran maut dan hidup, yang tak pernah berhenti memperebutkan cinta dalam jiwajiwa pemuja sejatinya.

Begitu indah. Begitu pasrah. Begitu hangat. Begitu nikmat.

Semua berawal dari sebuah malam seusai pesta yang hingarbingar, itulah saat pertama aku melihat wajahnya, muda, tampan, penuh pendar harap sekaligus guratan luka menggenangi tatapannya.

Itulah saat pertama dia jatuh cinta padamu; rupanya.

Malammalam berlalu dengan debar begitu hebat saat kekasihmu memanjat pagar, suara derak semak, desir angin, kicau burung, dan syairsyair cinta bergema di udara malam. Membuat segala yang rindu terpaku, wangi rambutmu terbawa angin saat dia kekasihmu menyibakkannya dari keningmu yang hendak dikecupnya. Aku kehilangan selera makan, seringkali kulepaskan begitu saja seekor ngengat yang ketakutan pada kematian disarangku.

Seakan tak pernah bosan kekasihmu merayu dan memujamu, mungkin bulan sungguhsungguh cemburu padamu. Begitu juga aku, tak kupedulikan jantanjantan yang lewat, bahkan kuusir dengan galak yang nekad singgah di sarangku. Pernah suatu hari aku berkata, “janganlah pernah mendekati sarangku, jika tak bisa merangkai katakata seperti mahluk tampan itu untuk kekasihnya!”. Semua yang mendengar katakataku terbahak, dan kudengar seekor kecoa berkata,”kau pasti betina sinting, takkan pernah ada pejantan yang akan membuahi telurmu sampai kapanpun”. Apa peduliku..

Harihari berjalan menanti malam, siang begitu lambat, malam begitu terang. Cinta yang menantang terusmenerus, menggerus rasa dan hasrat liar makin menguat, mengalahkan segala sekat dan batas. Syukurlah kau punya pengasuh yang berhati lembut, meski suaranya seringkali melengking memecahkan hening rahasia malam, semua hanya karena beliau wanita tua yang sayang pada putri cantiknya yang tengah terjerat asmara.

Entah apa yang terjadi kemudian, suatu malam yang nampak lebih gelap dari biasanya, kekasihmu datang dengan wajah pias dan tubuh kuyu, tercium bau keringat dan darah kering pada bajunya. Bercak airmata mengering disudut matanya, beradu resah dan cemas, juga hasrat disana, semoga kau tak sempat melihat luka dan sesal dihatinya. Karena belakangan ku dengar dari cerita burungburung dara dari menara gereja, bahwa hari itu telah terjadi sebuah berkah sekaligus tragedi. Kami semua yang ada turut pilu terbalut ragu, diamdiam ku panjatkan doa agar kau dan kekasihmu menemukan ruang dan waktu untuk saling manautkan rindu suci kalian.

Ternyata kemudian malam penuh gelisah itu adalah malam terakhir aku melihat wajah tampan kekasihmu, tak pernah lagi ada malammalam yang dipenuhi suara dan aroma rindu. Namun anganku selalu benderang memandang semua kenangan manisnya cumbu dan rayu kalian.
Semak perdu berbunga ungupun melayu, tak bergairah lagi tumbuhkan sulursulurnya ke arah puncak dinding. Segalanya begitu redup, juga bulan, tak lagi membara oleh sinar cemburunya. Kehilangan gairah, kisahmu ternyata begitu menyalakan segala.

Aku hanya bisa selalu bertanyatanya pada malam; berakhirkah kisah cintamu, kau yang cantik dan dia yang tampan, dengan hati yang selalu bercahaya. Banyak cerita simpang siur tentang kalian, terlebih tak lama kemudian putri cantik pemilik rumah juga menghilang, tak pernah pulang. Mata pengasuh tua sembab dan basah, duka membubung di angkasa

Beberapa hari berselang burungburung dara kembali hinggap di semak perdu, mereka mengumpulkan rantingranting untuk sarang bagi musim kawin ini, aku sempat mendengar pembicaraan mereka, tentang kisah cinta sejati, antara sepasang jiwa sehidup semati.

Sayang sekali aku hanya seekor labalaba betina, sekarang telah tua dan sebatang kara.
Tak ada telur yang sempat kutetaskan, tak ada anak labalaba yang tinggal di sarang untuk temani hari tuaku. Hanya kenangan indah tentang cerita cinta putri cantik dan kekasih tampannya yang selalu menghias angan dan kenanganku hingga hari ini.

Bersama kilau embun dan cahaya matahari, masih kuhias sarangku tiap pagi.

Tak pernah ada seguratpun sesalku;
telah habiskan seluruh waktu hidupku sebagai saksi cinta putri cantik dan kekasih tampannya, pun jika aku tak pernah tau akhir dari kisah kasih yang satu ini, dalam hatiku aku percaya putri cantik dan kekasih tampannya akan selalu saling cinta selamanya.

Atau, mungkin aku Cuma labalaba betina yang berlebihan memuja angan..

Entahlah, yang pasti aku telah sempat melihat cinta membara pada mata kekasih tampan sang putri cantik. Cinta yang takkan pernah membuatku menyesali takdir hidupku sebagai labalaba betina yang merentangkan sarang diantara dinding ini dan ranting perdu berbunga ungu itu..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar