Sabtu, 20 November 2010

penjaga mimpi

Pagi ini, mungkin akan kau acuhkan lagi secangkir kopi yang kusiapkan di beranda rumah. Mungkin kau akan bilang terlalu panjang dan melelahkan perjalananmu semalam hingga tak sempat mampir demi seteguk cairan pemacu detak jantung yang kuseduhkan untukmu, sepulang aku dari jembatan sungai harapan.
Sudahlah tentu aku mengerti betapa banyak pekerjaanmu belakangan ini, terutama di masamasa cuaca seakan tak ramah, membuat ngilu hati tertusuk pilu.

Berapa panjang sungai sudah kau susuri malam tadi.
Tak pernah sempat menghitungnya seperti biasa. Terlalu banyak lenteralentera kertas terapung yang harus kau tangkap disela arus dan jeram, untuk kau baca namanama yang tertulis dengan tinta emas padanya, masih pula harus kau catat doadoa yang menyertainya dalam ingatanmu.

"Tak mengapa aku suka pekerjaanku", begitu katamu dulu.
Jawabku, "aku merasa kehilanganmu".

Ingatkah kau ketika pertama kali kita bertemu, aku masih begitu kecil dan rapuh.
Selalu kuhabiskan malammalamku sebelum mengenalmu, hanya duduk diam di pinggir sungai dimana kau sibuk meraih lenteralentera mimpi yang hanyut di antara arus sungai.

Kau mendekat bertanya, "sedang apa?"

Aku cuma bisa mengangkat bahu, sungguh tak tau.
Lagipula aku tak mengenalmu, tapi aku suka dan percaya padamu seketika itu.

"Apa tak kau hanyutkan mimpimu disini?"

"Apa itu mimpi?"

"Kau sungguh tak tau mimpi, tak punya mimpi, tak bisa mimpi?"

"Haruskah aku?"

"Tidak juga. Maukah kau temani aku mengumpulkan mimpi?"

"Bisakah?"

"Kalau kau mau.."

Malammalam selanjutnya, kita bersahabat dalam diam dan senyuman.
Bertemu dan berbagi cahaya bulan.
Baru tau aku ternyata kerjamu juga pembuat bintang.
Bintangbintang yang terbuat dari abu lenteralentera yang sudah terkumpul lalu kaubakar diatas bukit. Harum asapnya akan mendatangkan berjuta peri, masingmasing mendapat segenggam abu untuk disebar di atap langit, jadilah berjuta bintang kerlipkan malam.
Kau ajakku temani kau lakukan semua pekerjaanmu, betapa senangnya aku tiap malam menjelang kau datang.

Selepas matahari terbenam aku selalu menantimu di ujung jembatan, kau muncul dari kejauhan membawa keranjang besar, menggandeng tanganku menuruni tepian sungai pada bagian landai. Kauhamparkan sehelai permadani untukku duduk atau berbaring, sambil mengamatimu lakukan pekerjaanmu, menangkap setiap lentera mimpi yang lewat. Lenteralentera berwarna dengan aneka gambar dan katakata.
Sebentar saja nyaris penuh keranjangmu.
Kau tarik lenganku, berdiri beranjak, berjalan pelahan mandaki bukit, masih pula punguti lagi lentera mimpi yang datang belakangan mendekat.
Biasanya makin larut malam, makin besar lentera mimpi yang muncul.
Kau bilang, "semakin tua malam, makin senyap, makin lelap, makin besar dan terang lentera mimpi yang tercipta".

Suatu malam saat paginya aku baru belajar sains di sekolah aku jadi heran dan bertanya, "bagaimana sungai ini mengalir dari tempat rendah ke tempat tinggi, tidakkah itu tak aneh, tak seperti yang kupelajari di sekolah siang tadi ?"

Kau tersenyum, "akhirnya kau sadari itu, aku hampir putus asa menunggumu bertanya".

"Kenapa kau menungguku bertanya?"

"Karena hanya manusia yang sadar sepenuhnya yang akan bertanya. Aku sering bimbang apakah kau berjalan temani aku dalam tidurmu".

"Adaada saja kau ini", tapi begitulah aku tak peduli pada yang lain, hanya asyik pandangi tiap gerakmu. "Sekarang maukah kau katakan tentang sungai yang aneh ini".

"Yah ini bukan sembarang sungai, hanya ada sebuah sungai serupa ini di alam, namanya sungai harapan".
"Sungai ini beda dari sungai biasa; bermula dari samudra mengalir menuju mata air.
Berawal dari keruh berakhir dengan jernih.
Di sungai ini mimpimipi dilarung.
Tiap benak manusia mulai melukis mimpi, hasrat merupakannya jadi lentera, khayal menghias lentera mimpi dengan anaka warna, gambar dan kata.
Anganangan yang sudah sedari tadi asyik mengawasi akan mengantarkan lenteralentera mimpi ke tepi sungai harap ini, menghanyutkannya dengan senyum senang di wajahnya. Dan disinilah aku penjaga mimpi akan menangkap tiap lentera mimpi yang telah dilarungkan angan".

"Ahh, begitu rumit ternyata".

"Yah. Mereka yang tertidur dan bermimpi takkan mengerti perjalanan mimpi".

Sesampainya di atas bukit kau nyalakan api unggun besar dan satu persatu lentera kau lemparkan ke dalam bara, kau ijinkan aku membantumu, melemparkan lentera satu demi satu dalam nyala api.

Indah sekali

Setiap kali sebuah lentera terlempar terbakar, meletuplah sebuah lidah api warnawarni. Udara malam begitu harum dan hangat.
Sungguh harum, serupa asap gaharu.
Sehangat musim panas.

Periperi berdatangan dari segenap penjuru.
Periperi berambut warna emas dengan baju berkilau dan sayap tembus pandang.
Suatu ketika, seorang peri membiarkan aku yang ingin tau menyentuh sayapnya, ternyata sama sekali tak rapuh, seperti selembar tipis kaca, jernih tak terkira, dingin dan lentur. Saat jemariku menyentuh sayap itu, sejuk mengalir di sekujur tubuh.
Aduh, alangkah inginnya jadi peri.

Tak lama kemudian keranjangmu kosong, semua lentera mimipi telah terbakar habis.
Api unggun kian meredup nyalanya sebelum benarbenar padam.
Kau segera mendekati setumpuk abu berkilau di antara rerumputan yang tetap hijau dan segar, seakan tak pernah tersentuh panasnya bara api.

"Kesinilah, bantu aku".

Saat kusentuh dengan ragu gundukan abu berkilau itu, terheran pula aku, sedikitpun tak panas, ringan dan halus terasa di telapak tangan.

Periperi membuka kantung kain sutra mereka, dan kita semua yang ada disana mulai memasukkan segenggam demi segenggam serbuk abu berkilau ke dalam banyak sekali kantongkantong sutra.
Hingga tak ada sisa seserbuk abupun tersisa diatas rumput hijau.

Periperi satu persatu melambai, terbang ke atas menjauhi bukit ke arah langit, sekejap hilang dari pandangan.

Kau duduk disampingku, bersamasama pandangi langit hitam malam.
Sesaat kemudian tibatiba bermunculan kerlipkerlip bintang. Satu, sepuluh, seratus, sejuta, dan entah berapa, tak terhitung. Langit malam tak lagi hitam.

"Lihat, periperi itu sudah sampai di atap langit, mulai menabur serbukserbuk abu mimpi".

"Cantik sekali".

"Periperi pintar".

"Periperi hebat, begitu mungil dan ,mampu terbang hingga ke atap langit".

"Yah. Suatu hari aku ingin jadi peri".

"Tidak. Kau akan jadi penjaga mimpi, gantikan aku disini".

"Memangnya kau hendak kemana?"

"Aku tak kemanamana. Aku akan menjadi pagi, untukmu".

Aku masih duduk termangu di teras rumah, teringat semua tentangmu, sekian waktu yang lalu, begitu lama, entah kapan.

Hingga malam ini, tiap senja aku masih berdiri di ujung jembatan di atas sungai harapan, menanti kau muncul di ujung jalan.
Menjelang dini hari akan kuseduh secangkir kopi manis hangat untukmu.
Tiap pagi aku akan selalu menanti kau yang pernah katakan akan jadi pagi, untukku.

Apa aku harus mulai belajar bermimpi agar dapat ku jumpai kau kembali?

Kau penjaga mimpi, aku hanya bisa menjaga mimpimimpi yang takkan pernah kumiliki.

Kau tak kemanamana.
Selalu disini.
Kau akan menjadi pagi, untukku yang tak pernah bisa bermimpi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar