Kau mengajariku membaca pagi yang tersirat dalam remahan roti yang mongering, kripik kentang , sisa lelehan gulagula kapas, dan tepian gelasgelas lengket yang berserakan dilantai. Kita lupakan saja malam hening kemarin, katamu, biar menguap serupa kabut saat beranjak siang. Bukankah akhir pekan adalah waktu sempurna untuk berkencan. Demi sebuah kencan yang nyaman harus ada beberapa sahabat, teman kencan dan banyak kudapan. Lihatlah, malam akan berlalu kencang dalam hentakan musik cadas. Dan kita akan tinggalkan lara itu terkunci dalam lemari, bersama redamnya keluhan angan memuakkan tentang masa depan.
Masih pula tersisa tetes asam didasar kaleng, mendengking lirih, nyaris penyok terinjak kakikaki limbung penyangga kepalakepala yang alpa menandai luka.
Bersama sinar bulan, kau mengintip dari celah jendela, sesosok angin ngawang mendekat. Kau angkat aku dalam buaian setengah sadar, kudengar suara gerimis berbisik,
“jangan menangis, hidup hanya kenangan, tidak lebih..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar