Hitam pelanpelan memudar. Terusik garis cahaya ditepi bumi, terang mengoyak sajaksajak belum kelar diatas meja. Kuyu oleh asap, tertahan dalam detak jantung terpacu pahit kopi kental. Bantal masih utuh dan selicin malam, sebab kepala enggan menyerah pada kantuk. Selalu begitu, dini hari datang bergairah pada sekuncup mimpi siang hari. Suara pagi, erangan tubuh rapuh pemilik dengkur melahirkan tanya memuakkan, apa malam diciptakan lebih panjang dari siang, lalu kenapa jejaknya tak habis pula kususuri, belum berujung embun pada kawatkawat jemuran.
Menitmenit membisu, seakan tak paham bahasa, padahal dulu waktu yang ajari aku berkatakata, setelahnya tanpa rasa salah tinggalkan aku dalam ruang tak bersuara. Dusta macam apa yang nekad katakan bahwa mata mengenal rasa lelah, nikmati pejam panjang yang terpajang di mall, buka 24jam. Sebuah gelap demi sedikit lelap pun, tak tau mesti kubeli dimana. Tak ada iklan yang menawarkan ketenangan, selalu cuma riuh pertunjukkan melulu, yang mengikat jemu diantara jeda tawa dan tetes airmata. Permainan rasa yang sama.
Serupa mengulang satu bab selama berabadabad
Penat tak pernah lalai mencegat langkah melambat
Mestinya aku bisa terbang andai tak kuberikan sayapku sebagai mahar malammalam bersinar dulu, ketika aku jadi mempelai mimpi dalam sebuah puisi pagi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar