Aku mulai merasakan panas di sekitar jemariku. ya, batang sigaret itu sudah sangat pendek, kuhisap sekuat nafas untuk yang terakhir kali, kulontarkan puntungnya ke lantai, kuinjak asal-asalan. Aku punya dua asbak ukuran normal, tapi sangat malas mencarinya, aku lebih suka menggunakan asbakku yang ketiga, yang paling luas: lantai kamarku. Seolah gerak reflek yang sangat terlatih, mataku kembali melirik senyum di dalam pigura. Masih kuingat betul bagaimana senyum itu berubah cemberut saat melangkah memasuki kamarku yang berantakan, abu, puntung rokok dan aneka bungkus berserakan, masih ditambah pula dengan buku-buku, diktat dan kertas, juga beberapa gelas dan mug dengan sisa kopi yang mengering di dasarnya. Mula-mula matanya melotot menatapku, anehnya tak berkurang sedikitpun rasa senangku saat memandang mata melotot dan bibir mengkerut itu, matanya sebulat semangatku. Kegairahanku masih sama persis dengan yang kurasa saat memandangnya pertama berdiri di depan pintu, melangkah ragu memasuki kamarku. Aku tahu dia akan segera berkicau, maksudku, aku tak mendengar sepatah katapun, hanya alunan nada merdu memenuhi telingaku. Ahh, aku tak tahu burung apakah yang kicaunya semerdu itu.
Dia bergerak serupa anak rusa, gesit dan lincah, lengannya seolah tumbuh, lebih dari dua. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, kamarku sepertinya sudah tak kukenali lagi.
“Kau tak punya asbak,” Matanya masih membelalak. Aku menggelang, cepat-cepat kutambahkan,”Ada tapi entah kemana, mungkin dipinjam anak-anak.”
Esoknya dia datang lagi, seperti yang sudah kami sepakati. Dia tentu tak tahu bahwa dua jam sebelum kedatangannya aku menyapu lantai kamarku, mencoba merapikan benda-benda sebisaku. Bukannya aku tak suka melihat mata melotot dan bibir cemberutnya, hmm aku hanya tak suka waktu kami terpakai untuk membereskan kamar. Lebih enak juga duduk berdekatan sambil bicara, memainkan gitar, atau main game bersama di depan komputerku. Bisa berkali-kali aku mendaratkan ciuman curian di pipinya, dia pura-pura tak peduli. Manis sekali. Dia datang membawa asbak sore itu, dua buah, hijau dan biru.
“Banyak amat.”
“Ya, awas kalau tak dipakai.” Aku tertawa mendengar tekanan suaranya.
Andai dia tahu itulah alasan terkuatku untuk membuang abu dan puntung rokok di lantai kamarku lagi. Sejak aku tahu dia tak akan pernah berkunjung ke kamarku lagi. Aku pernah menendang yang berwarna biru, cukup kuat hingga menghilang dari pandangan, dan aku senang yang berwarna hijaupun tak lagi kulihat di seluruh kamar, entah, mungkin ngumpet menghindari nasib yang sama dengan si biru. Tak berapa lama baru aku mengerti konsekuensi dari kebencianku pada dua buah asbak tak bersalah. Setiap kali kubuang abu dan puntung rokok di lantai kamar, selalu saja senyum dalam pigura memaksa mataku melirik ke arahnya. Sungguh aku tak mampu menendang dan membenci pigura itu, betapapun besarnya inginku. Yang terbaik yang bisa kulakukan hanya mempesingkat waktu saat senyum dalam pigura itu menikam mataku, menyeret ingatanku pada peristiwa dan nama yang paling ingin kulupakan*
Dia bergerak serupa anak rusa, gesit dan lincah, lengannya seolah tumbuh, lebih dari dua. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, kamarku sepertinya sudah tak kukenali lagi.
“Kau tak punya asbak,” Matanya masih membelalak. Aku menggelang, cepat-cepat kutambahkan,”Ada tapi entah kemana, mungkin dipinjam anak-anak.”
Esoknya dia datang lagi, seperti yang sudah kami sepakati. Dia tentu tak tahu bahwa dua jam sebelum kedatangannya aku menyapu lantai kamarku, mencoba merapikan benda-benda sebisaku. Bukannya aku tak suka melihat mata melotot dan bibir cemberutnya, hmm aku hanya tak suka waktu kami terpakai untuk membereskan kamar. Lebih enak juga duduk berdekatan sambil bicara, memainkan gitar, atau main game bersama di depan komputerku. Bisa berkali-kali aku mendaratkan ciuman curian di pipinya, dia pura-pura tak peduli. Manis sekali. Dia datang membawa asbak sore itu, dua buah, hijau dan biru.
“Banyak amat.”
“Ya, awas kalau tak dipakai.” Aku tertawa mendengar tekanan suaranya.
Andai dia tahu itulah alasan terkuatku untuk membuang abu dan puntung rokok di lantai kamarku lagi. Sejak aku tahu dia tak akan pernah berkunjung ke kamarku lagi. Aku pernah menendang yang berwarna biru, cukup kuat hingga menghilang dari pandangan, dan aku senang yang berwarna hijaupun tak lagi kulihat di seluruh kamar, entah, mungkin ngumpet menghindari nasib yang sama dengan si biru. Tak berapa lama baru aku mengerti konsekuensi dari kebencianku pada dua buah asbak tak bersalah. Setiap kali kubuang abu dan puntung rokok di lantai kamar, selalu saja senyum dalam pigura memaksa mataku melirik ke arahnya. Sungguh aku tak mampu menendang dan membenci pigura itu, betapapun besarnya inginku. Yang terbaik yang bisa kulakukan hanya mempesingkat waktu saat senyum dalam pigura itu menikam mataku, menyeret ingatanku pada peristiwa dan nama yang paling ingin kulupakan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar