Selasa, 28 Juni 2011

tak terkata

by Dian Aza on Friday, April 1, 2011 at 8:01am
Bagaimana harus kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya aku hanya ingin mengatakan satu kalimat sederhana. Benarbenar satu kalimat sederhana, dengan susunan kata paling sederhana pula, subyek kata ganti orang pertama, predikat, obyek kata ganti orang kedua. Untuk satu kalimat sederhana saja aku telah mengajak seluruh jagad raya bersekutu, aku merasa dungu. Satu kalimat yang biasanya kuuraikan dengan banyak kias dan andai, satu kalimat yang kurancang serumit tatanan rambut selebritis narsis, satu kalimat seanggun mahkota raja paling kaya dan berwibawa. Aku ingin mengatakannya dengan nada paling syahdu, dengan suara paling merdu, dengan menatap hingga ke dasar jantungmu.

Dan kau sama sekali tak peduli pada segenap keresahanku. Masih tekun memutarmutar pena dengan jarimu. Selembar kertas kosong di bawah sikumu takzim menunggu tulisanmu. Apakah kita ditakdirkan untuk menjadi sepasang manusia penjaga keheningan. Setiap kali aku bergerak hendak membuka bibir untuk mengatakan apa yang ingin kukatakan kepadamu, kau secepatnya menatap nanar ke arah mataku, menggelengkan kepala, lengan dan tanganmu bergerak gelisah, seolah menyampaikan pesan dengan bahasa tubuhmu agar aku diam.

Waktu terus berlalu, mengalir melewati ruang kita. Seperti seorang pelayan rumah makan yang menanti kita memesan menu dengan santun, sekaligus tak sabar. Lama kelamaan waktupun seakan jenuh menunggu, ingin pergi dan berlalu. Belum bisa kukatakan kalimat sederhana yang seharusnya kukatakan kepadamu, kaupun belum menuliskan apapun yang kaupikir ingin kautuliskan pada selambar kertasmu. Tinta pada ujung pena tak mengering, kertas tak mengeluh, hanya waktu yang tak ingin lagi menunggu. Ada banyak orang yang juga membutuhkan waktu untuk mengatakan atau menuliskan apa yang ingin disampaikan.

Hampir tengah malam, kau harus pulang. Kaulipat kertas kosongmu, kaumasukkan kembali ke dalam tas punggung beserta penamu. Aku menatap matamu yang memandang tajam, menembus benakku. Kubuka kembali bibirku, penuh ragu, segera menutup lagi, kalimatku seakan tertahan di rongga dada. Kau tak lagi mencegahku untuk berkata, kau bahkan seperti menanti kalimatku, namun aku telah kehilangan nyali. Entah apa yang kurasakan, hanya saja aku sangat ingin berteriak putus asa telah membiarkan waktu berlalu tanpa bisa mengatakan apa yang seharusnya kukatakan.  Wajahmu bergerakgerak, mencoba membaca gelisahku.

Tibatiba kau tertawa,”Begitu benarnya hingga tak bisa dikatakan.” Aku terpana.

“Kalau bisa dikatakan dengan mudah tentu tak istimewa,” Kau masih tertawa dengan matamu. “Masih ada esok. Kalau besok kita masih merasa sama, kau masih ingin mengatakannya, aku akan mencoba menuliskannya lagi.”

Kau menyentuh rambutku sekilas, lalu berjalan meninggalkan ruang. Aku masih menatapmu sampai kau menjauh, menghilang dari pandang mataku. Kucoba mengatakan kalimatku, kupikir pasti tak susah mengatakannya saat aku sendirian. Ternyata masih juga gagal terucap, alangkah pengecut, mengatakan pada diriku sendiri saja aku tak berani.  Rasanya ingin menangis. Suaramu menggema dalam telinga, masih ada besok, kau akan mencoba menuliskannya lagi, aku tersenyum. Kalau kau mencoba menuliskan kalimatku artinya kau telah mengerti tanpa harus kukatakan lagi. Tapi…

Tak apa jika besok kita harus kembali menghabiskan waktu bersama, berdekatan dalam gelisah, tibatiba kusadari sangat menyenangkan melewatkan waktu bersamamu, menjadi sepasang manusia penjaga keheningan hanya demi satu kalimat sederhana yang tak mampu terkata*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar