Kau sedang bermain, anakku sedang bernain, menjadi ‘giant’. Menyusun barangbarang di atas rak. Kipas angin dalam kotak, alat penanak nasi dalam kotak, kapas, pengering rambut, pencuci rambut, pelembut baju, seperti menulis dangan kalimat bersilang, maksudku sunggugsungguh bersilang, dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri, dari sudut ke sudut dengan kemiringan beragam, tegak lurus, condong, aku takjub, begitu banyak garis terhubung.
Sejak dulu aku tak suka mengingat rumus, itu pekerjaan sederhana, beruangpun bisa bersepeda jika diajari dengan benar, dengan sedikit hukuman dan banyak pujian. Tapi aku lebih suka beruang berjalan mondarmandir dengan pantatnya yang bulat dan moncong yang bergerakgerak, naik sepeda bukan kodrat seekor beruang. Seperti jenasah, seharusnya tak butuh rumah.
Semua toh hanya mainmain, jangan terlalu risau, selama belum dewasa, belum tahu mengirangira skala gempa, biar saja terus bermain. Semua diciptakan untuk bersenangsenang, kan. Aku memesan segelas kopi dari dapurku, tapi gulanya habis. Masih banyak gula dijual di warung. Warung sungguhan, dengan tirai barang bergantungan. Bumbubumbu dan semua yang harum jika dituang. Inikah bayangbayang.
Sebentar lagi tengah hari, bayangbayang memendek, matahari tegak. Alunalun berselimut sajadah. Aku tak menjadi apaapa. Kau sedang butuh teman bicara. Aku nyaris tak percaya, di siang hari yang terang kau kehilangan selera untuk bermainmain. Kalau boleh menebak, kau ingin bermain di rambutku saat ini. Rambutku yang sedang sembunyi, kau bilang semua yang tak nampak tak bisa diduga. Seperti nafas, terlalu luas. Elevator itu tak menyala, tak bisa membawaku ke tingkat dua. Maukah kau menggendongku, di punggung saja, macam anak kera. Supaya layak meminta hutan. Aku selalu sedih melihat kera di dekat muara, terikat. Apa sih yang ditakutkan dari seekor kera.
Ayolah, bermain lagi, mumpung bayangbayang sedang menunduk, terikat tubuh. Aku bisa bermain lebih bebas, tanpa dibayangi bayangbayang. Roti keju itu, biar untuk tikus putihku saja, tikus itu pasti kesepian dan lapar, seharian menungguku pulang sekolah. Tikus putihku dan aku, akan bermain bersamamu, berkejaran di antara kakikaki yang berbaris di depan mesjid, berlarilari di bawah bayang yang satu ke bayang yang lain. Rumah baru itu sudah terkirim, dengan tiga peti uang emas. Betapa senangnya dia yang menerima, masih bisa bermain bersama, menonton televisi, menenggak bir dingin. Kau yang mengajariku bermain, aku tak bisa berhenti, tak bisa mati.
Aku mendengarmu memanggilmanggil, sebentar lagi, waktunya bermain lagi, aku tak ingin bertanya, kapan saatnya aku harus mengenalmu sungguhsungguh, setelah semua permainan usai. Tapi tak ada yang selesai, belum selesai. Permainan itu terlalu mencintaiku untuk mau berlalu. Maafkan aku, guru*
Sejak dulu aku tak suka mengingat rumus, itu pekerjaan sederhana, beruangpun bisa bersepeda jika diajari dengan benar, dengan sedikit hukuman dan banyak pujian. Tapi aku lebih suka beruang berjalan mondarmandir dengan pantatnya yang bulat dan moncong yang bergerakgerak, naik sepeda bukan kodrat seekor beruang. Seperti jenasah, seharusnya tak butuh rumah.
Semua toh hanya mainmain, jangan terlalu risau, selama belum dewasa, belum tahu mengirangira skala gempa, biar saja terus bermain. Semua diciptakan untuk bersenangsenang, kan. Aku memesan segelas kopi dari dapurku, tapi gulanya habis. Masih banyak gula dijual di warung. Warung sungguhan, dengan tirai barang bergantungan. Bumbubumbu dan semua yang harum jika dituang. Inikah bayangbayang.
Sebentar lagi tengah hari, bayangbayang memendek, matahari tegak. Alunalun berselimut sajadah. Aku tak menjadi apaapa. Kau sedang butuh teman bicara. Aku nyaris tak percaya, di siang hari yang terang kau kehilangan selera untuk bermainmain. Kalau boleh menebak, kau ingin bermain di rambutku saat ini. Rambutku yang sedang sembunyi, kau bilang semua yang tak nampak tak bisa diduga. Seperti nafas, terlalu luas. Elevator itu tak menyala, tak bisa membawaku ke tingkat dua. Maukah kau menggendongku, di punggung saja, macam anak kera. Supaya layak meminta hutan. Aku selalu sedih melihat kera di dekat muara, terikat. Apa sih yang ditakutkan dari seekor kera.
Ayolah, bermain lagi, mumpung bayangbayang sedang menunduk, terikat tubuh. Aku bisa bermain lebih bebas, tanpa dibayangi bayangbayang. Roti keju itu, biar untuk tikus putihku saja, tikus itu pasti kesepian dan lapar, seharian menungguku pulang sekolah. Tikus putihku dan aku, akan bermain bersamamu, berkejaran di antara kakikaki yang berbaris di depan mesjid, berlarilari di bawah bayang yang satu ke bayang yang lain. Rumah baru itu sudah terkirim, dengan tiga peti uang emas. Betapa senangnya dia yang menerima, masih bisa bermain bersama, menonton televisi, menenggak bir dingin. Kau yang mengajariku bermain, aku tak bisa berhenti, tak bisa mati.
Aku mendengarmu memanggilmanggil, sebentar lagi, waktunya bermain lagi, aku tak ingin bertanya, kapan saatnya aku harus mengenalmu sungguhsungguh, setelah semua permainan usai. Tapi tak ada yang selesai, belum selesai. Permainan itu terlalu mencintaiku untuk mau berlalu. Maafkan aku, guru*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar