Minggu, 16 Januari 2011

'putri tidur'

Kopi sedingin malam di luar jendela. Kudengar langkahmu mengetuk hening. Seperti kepulangan kucingku dari berkelana. Aku teringat ceritacerita dari getar kumisnya, tentang pertengkaran berebut kepala ikan demi seekor betina cantik. Entah sudah berapa kali kebodohan berulang untuk sebuah hati, masih percaya seteguh karang tentang kasih sayang yang terbuang di selokan.

Gerobak sampah menjelma kereta kencana, mengantar seorang putri ke gerbang istana. Kurasa mimpi putri itu terlalu indah hingga tak ingin terjaga. Jangan sedih ayah, teruslah tertawa kakak tersayang. Aku tak lagi menangis kesakitan, tak akan pernah menangis lagi. Akan kuberitahu kalian, gerobak sampah adalah tempat orangorang kaya membuang hati dan mimpi, hati paling hangat, mimpi paling indah bertumpuk di dekatku. Kini aku punya bantal paling empuk, selimut paling lembut. Tak ada alasan untuk tak bisa tidur pulas.

Kucingku yatim piatu sejak bayi, sepasang tangan menculiknya, ketika induknya mengunjungi tempat sampah tetangga mencari makan tambahan. Sepertinya dia punya beberapa saudara yang tercerai berai, entah ke mana. Aku menemukannya di tepi sungai dekat muara, mengeong nyaring, dingin dan lapar. Anakku meminta kubawa bayi kucing pulang, anakku mau berbagi makanan, tempat tidur, selimut dan pelukanku, dengan seekor bayi kucing. Aku selalu membuang tangisku ke laut, seperti anjuran tuhan dalam sebuah lagu yang dinyanyikan anakku. Tempat sampahku penuh kotoran anak kucing, duri ikan, dan kertas bergambar matahari dan pelangi. Tempat sampah paling wangi di komplek perumahan kami. Anak kucing mengais ingatan tentang induknya sambil berayunayun di dahan pohon srikaya.

Seharusnya ayah tak membawaku naik kereta api, andai ayah berjumpa dengan ibu peri yang baik hati. Ibu peri pasti mengayunkan tongkat sihirnya, merubah bayi kucing jadi kuda jantan dewasa, gerobak sampah sungguh kereta kencana. Ada kusir duduk di kursi depan, mengendali kuda supaya baik derapnya. Ayah, kakak dan putri duduk di belakang, menikmati perjalanan, tamasya yang menyenangkan, mungkin di tengah jalan kelak berjumpa pula dengan ibu yang sebenarnya. Ibu yang mencintai ayah, kakak, dan putri yang tertidur seribu tahun. Ibu tak membuang apaapa ke dalam tempat sampah selain katakata, bilakah kecoa bisa membaca, aku bertanya, tersenyum membayangkan kecoa berkacamata jatuh cinta pada katakata.

Tempat sampah meledak, marah atau tertawa, kurasa sama saja. Meledak, orangorang tersedak, sesak. Sekarang orangorang mungkin tahu apa artinya meniup mimpi tak habishabis ke dalam bola dunia. Anakanak kucing beterbangan, duriduri ikan berlarian, kecoa hinggap di setiap jendela, burung kakak tua kebingungan, berteriakteriak pula, memanggilmanggil nama putri yang terlelap. Hanya seribu tahun mungkin tak lama, sebelum ibu peri membangunkan pangeran dan naga, biar berperang memperebutkan hati sang putri. Seharusnya masingmasing memiliki lebih dari satu hati, biar tak jatuh korban perang di tiap sudut bumi.

Aku berdiri, meninggalkan gelas kopi sedingin malam di atas meja. Kuceburkan diriku dalam tempat sampah di dekat jendela, dalamnya tak berdasar, ada hujan salju tak putusputus jatuh. Inikah rasanya menyayangi maut. Kabut,puncak gunung, bersama laut berebut menjemput. Menyurutkan takut. Seperti sepenggal paragraf yang tersesat di luar angkasa, melayang menjauh tak tentu arah. Surya tenggelam dalam sajak, gambargambar pelangi luntur warnanya mengotori awan. Namamu masih kugenggam. Monster merah, ternyata benarbenar ramah, tak lagi mencuri jerit ketakutan putri. Katak hijau berceloteh tanpa henti, membacakan berita hari ini. Aku tak tahu di mana ayah menemukan televisi yang baik hati, dari tempat sampah di rumah siapa. Kudengar gerimis mulai berbisik memanggilku lagi.

Kulihat gerimis bersama gerobak sampah melintas di depan rumah, mengangkut banyak berkah untuk hati dan mimpi, untuk putri dan semua anakanak kucing di bawah langit . Tak ada yang menangis lagi*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar