Malam sebantar lagi, senja singgah sebentar saja, menyalakan api.
Sudah cukup terikkah matahari, daundaun kering. Kuatkah angin merontokkan, daundaun kering. Waktu siapkah menyapu, daundaun kering. Masih adakah minyak tanah, sepotong garing ranting, pemantik tersedia, menciptakan bara membakar, daundaun kering.
Para pejalan bermata hampa sibuk memunguti kelopakkelopak mata, menyambut malam, untuk menutup mata. Ada yang lalai membubuhkan kelopak mata pada wajahwajah, serupa batu, mata tertanam di cekung tulang, tak pernah terpejam. Menyaksikan ular keluar dari layar kaca, sapisapi lahir dari jerami, ombak memahat ikan, hutan tumbuh dari sebutir apel. Bibirbibir terbang, hinggap di lengan hujan, mengigil kedinginan, lagu lirih dinyanyikan, kampung halaman, rahim, setumpuk syair. Darah berbau anyir menjadi banjir yang dikirim batangbatang kayu di atap rumahku.
Waktunya keluar, bangkubangku dan meja berjalan meninggalkan ruang kelas. Lereng gunung terlalu memikat untuk diabaikan. Belajar tak perlu kelas. Mata tak berkelopak mahir merekam gambargambar indah. Aku terpesona, aku terpesona, beritaberita mengutip lirik lagu. Ketukanketukan memberi isyarat api unggun boleh dinyalakan. Daundaun kering telah menanti lama, rindu api, rindu arti, sesudah mati, mungkin masih banyak kematian menanti.
Api, semoga lekas membakar segala yang disaksikan mata, mengantar kelopak mata kembali, memejamkan mata. Tak terdengar apaapa, hanya gumam daundaun kering tak sabar menanti senja . Senja singgah di lereng gunung, membereskan meja, bangku dan bukubuku, sebelum menyalakan api*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar