Suatu ketika, harus kulihat lagi retakan jalanjalan kota. Aku berharap ada wajahmu terselip di sana, dan memang kutemukan wajahmu di jejak roda truktruk pengangkut gelondong kayu, jejak sepatu kuda, dan lubanglubang bekas akar pohon. Semua sedang berandaiandai bersama seorang bocah yang mencari tangan bonekanya yang patah. Udara berwarna jingga, sebelum senja mengetuk pintu rumah.
Belum juga sampai, kucoba menyusun lagi balokbalok kayu di atas kertas, aku demam. Angin selatan memburuku, menyergap pundakku dengan kalimatkalimat tak kenal adat, tak tahu memilah jerat dan lezat. Kudakuda menderap, meninggalkan pecahan tingkap dari atap, kehilangan tiang penyangga. Hanya yang sedungu aku mendengar celoteh anakanak di hari minggu, rindu pada bajubaju boneka. Bendabenda menemui ajalnya di sini, di ruangruang tak bernama dalam jiwa, di goronggorong kota, berteman tikus dan kurakura. Tikus kerap mencobacoba, lekas lahir dan mati silih berganti, kurakura terlindung tempurungnya, hujan api dan abu tak mengusik bahunya.
Aku tak ada dalam sampan di sungai manapun, tak ada di semua gerbong kereta, tak duduk di setiap bis kota. Menyeberang hanya dengan kaki sendiri, telanjang, hilang tujuan. Terincangpincang, berjalan. Retakan jalan memanggil namaku. Baiknya aku mencangkul, bergumul dengan peluh di leherku sendiri, menanam jagung di ladangladang dalam ingatan sambil menunggu kau datang, membawa buah tangan, setandan pisang, sekeranjang tanda silang. Aku harus menandai jejakmu, jejak kampung dan gunung meletus, berharap iringiringan jenasah terpeleset atau tersandung, biar sunyi terbendung, kulit pisang dan tanda silang, aku sama dengan genangan hujan. Wajahmu menganga, retakan jalan meminta sedekah*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar