Dini hari memenuhi keranjang sampah dengan kemasan, puntung rokok, kepingan beku nafas pohon. Paruparu mengetuk dadaku, menyuruhku bangun, mengajak sandal jalanjalan, sandal lebih setia dibanding hewan peliharaan, lebih pantas mengajak sandal jalanjalan, sandal tak minta makan, sandal tak kencing sembarangan, itu penting. Udara pagi begitu sekejap, selalu tak lengkap, tak pantas menodai udara pagi dengan air seni.
Air seni, betapa misteri namanya, air seni mengingatkanku pada kuas, warna, nada dan sajak. Saat kandung kemih berdenyut, waktunya ke kamar mandi, buang air kecil, aliran air seni di lantai seakan menuduhku menyianyiakan sesuatu. Air seni mungkin sedang menipu dengan warna perak dan emasnya. Pernah juga kubaca tentang terapi air seni. Jika hujan air yang bukan air seni bisa jadi begitu banyak mendatangkan imaji, tentu saja untukku, mungkin hanya untukku.
Bukan untukmu, bukan untuk ayah ibuku, bukan untuk temanteman dan kekasihku. Untuk mereka aku hanya ingin udara, sebuah senyuman disela percakapan, hanya sekalisekali bicara dengan sebuah benda yang cuma bisa menulis dan membaca kata. Aku tak suka mengingat saudarasaudara, terasa begitu formal mengatakan saudarasaudara mari mengheningkan cipta di pagi buta untuk ribuan laron yang gugur semalaman di bawah sinar lampu.
Sandal jelas tak berakal, tapi diantarnya kakiku menyeberangi medan perang, dari lantai rumahku sampai seluruh sudut kota. Sandal membawa kaki melangkah hatihati di antara tubuhtubuh tanpa nyawa, laron, kecoa, semut, kutukutu yang jatuh dari tubuh kucingku, kulit jeruk, angin laut, ceceran sampah di manamana. Aku berhutang banyak kebaikan pada sepasang sandal, terutama saat aku ke kamar mandi, sandal selalu kukenakan. Sandal sangat menngenal warnawarna air seni, dengan teliti mencari arti dan isyarat dari pinggangku mengalir, kiri atau kanan yang terbuang. Asam air seni di punggung sandal pelanpelan mengendap dalam sajak, tepat waktu paruparu mengetuk dadaku*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar