Minggu, 16 Januari 2011

sepotong tahupun tahu

Aku menduga moyangku tahu bongkahan di meja makan itu sungguhsungguh tahu, tentang benih, tunas, tumbuh, dipetik, dibawa ke pabrik, bunyi mesinmesin, menjadi bongkah putih, terendam perih, garam dan bumbu dapur, minyak mendidih di penggorengan, menjadi matang. Terhidang di meja makan, hingga akhirnya, sentuhan bibir dan lumatan lidahku.

Maka dia diberi nama tahu, karena sungguhsungguh tahu tentang waktu. Tak ada yang begitu saja menjadi tahu, pun tidak sepotong tahu. Sudah bertahuntahun kukenal tahu, malangnya baru kusadari aku tak tahu banyak tentang tahu. Sampai malam ini ada yang berbisik, mungkin lidahku, tanyakan pada tahu, tentang waktu, tentang putih yang bisu, tentang semua yang selalu kuacuhkan, purapura tak tahu, betapa panjang perjalanan sepotong tahu demi  mengisi perutku.

Ditubuh bagian mana tahu menyimpan kenangan aroma tanah dan musim hujan, tentang daundaun yang tumbuh di ranting perdu, kulitnya semegah mantel bulu. Panen dan suka cita yang sebentar, perjalanan ke kota, tahu begitu mahir menyimpan kisahnya. Belum lagi deru bising mesin pabrik, memilah, memisahkan, mengolah, mengaduk, membentuk, mewarna, seakan ada terlalu banyak tuhan ingin menciptakan tahu, tuhantuhan kemudian melupakan semua yang mereka tahu. Aku ingin tahu apa sebutan tahu untukku, tuhan atau hantu.

Malam ini, sepotong tahu tersisa di meja makanku, matang, cantik, berkilat, serupa harta karun, emas berlumur minyak. Aku jatuh hati padanya. Aku jadi ragu memasukkan tahu dalam mulutku. Tahu yang baik hati, kuberikan kesempatan untukmu memilih takdir, aku ingin belajar adil.

Tapi tahu malah tertawa terbahakbahak,menatap sinis bibirku,”Sudah jangan sok tahu, aku cuma sepotong tahu.”

Duh, bahkan sepotong tahu tak percaya padaku, betapa pedihnya, tahu mungkin sungguhsungguh tahu betapa busuknya aku*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar