Minggu, 16 Januari 2011

lensa mata

Kamera mungkin mau mengajariku mengabadikan dunia kalau aku tersenyum padanya. Ada banyak hal harus diingat untuk bisa melupakan beberapa saat. Ketika rasa lapar mengantarkan burung nazar terbang mengitari mayat, adalah saat terindah mengenang kehidupan.  Sejak awal seharusnya kamera sudah paham aku memilih  gambar yang tak tepat.

Setiap mata bebas memandang dengan caranya. Hanya satu jenis buah terlarang untuk dimakan, tapi perempuan tetap memberikannya kepada ayah dan kekasihnya. Tak ada guna tersedia banyak pilihan, dosa selalu yang terindah.

Kamera tertawa, semerdu kicau burung gagak, berderak merobek nalar.

Suatu hari, mungkin aku akan belajar dari kamera  untuk menyimpan kenangan tanpa dendam. Bukan dendam pada seseorang atau sesuatu yang bisa terbayar setelah pembalasan. Dendam kepada alasan dan sebab, selalu ingkar, pergi begitu saja setelah mencipta keonaran. Apa hebatnya mendendam kepada seorang pembunuh, bahkan pada seregu pasukan yang baru saja menyerbu, selalu karena ada sebab dan alasan, tak mau menampakkan diri.  Bagaimana bisa kuremukkan yang tanpa bentuk, hanya kamera bisa mengurungnya dalam beku.

Kamera menganggukkan kepala, mengggetarkan tubuhnya, serupa gerakan kerbau mengusir lalatlalat di punggung dan telinganya. Lalatlalat terbang mendekati mata.

Mata cekung, dengung lalat, nanah dan darah saling menunjuk dengan puingpuing kota. Kamera membidik keduanya, mengurungnya agar tak berjalan kemanamana, diam di balik kening yang dilubangi sengat lebah, disumpal jarring labalaba, persis gua purba, remang menyimpan bayangbayang. Entah hari keberapa kamera menunjukkan padaku tentang suarasuara yang teredam dada pemilik kata sendiri. Para pengecut tentu sudah menghilangkan setumpuk agenda kerja,  kamera tak sudi menatap wajahwajah gembira, wajahku, wajah pasukan berseragam menyerbu taman kota.

Kamera memejamkan matanya, sejenak, mungkin mengheningkan cipta atau sekedar silau oleh cahaya lampu dalam sebuah gedung dengan jendela kaca besarbesar yang sering membuat burung camar terbentur, jatuh, mungkin mati.

Berkacalah, berkacalah, dunia dalam matamu akan bicara, lensa kamera pecah setelah pesan terakhirnya terkata, begitu layaknya kamera biasa bercerita di layar kaca. Kamera terbaring lemah, antara hidup dan mati. Tibatiba teringat, mataku punya lensa, kupunya dua mata. Kuberikan satu lensa mataku pada kamera, selayaknya seorang teman. Kamera membuka matanya kembali, tesenyum manis sambil mengejapngejapkan lensa matanya yang baru.

Sejak itu aku setengah buta, hanya melihat dengan sebelah mata. Kamera ternyata tahu membalas jasa, selalu berbagi semua pandangannya. Hanya saja lensa mataku tak sebaik lensa kamera seperti semula. Lensa mata bisa lelah, berkeringat, basah, selalu butuh istirahat dalam waktu tertentu. Hingga sering melewatkan peristiwaperistiwa penting.

Bagaimanapun, kamera telah mengajariku mengabadikan dunia, dengan lensa mata yang suka tersenyum pada dunia. Lensa mata nakal, punya banyak akal, suka mencuri pandang, mencaricari alasan. Burungburung nazar hanya membebaskan derita mata, menerbangkan mata mencari makna dalam lambungnya yang hangat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar